Dilarang Berangan-angan

249

BESOK, Selasa, 9 Mei 2017, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara bakal membacakan vonis terhadap Ahok.

Gubernur Jakarta itu dituntut setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun, dalam perkara penodaan agama.

Apakah hakim bakal memvonis lebih berat? Ataukah lebih ringan? Ataukah sama persis dengan tuntutan jaksa?

Biarlah hakim bebas mengambil putusan.
Besok, kebebasan hakim bukan lagi perkara harapan. Bukan perkara imbauan.
Bukan pula urusan tekan-menekan.

Besok kebebasan hakim merupakan perkara kenyataan bahwa kekuasaan kehakiman bukan cuma bagus di dalam konstitusi, melainkan juga berani dan adil di dalam sidang pengadilan.

Berbagai bentuk dan isi tekanan agar Ahok dihukum lebih berat gamblang diketahui publik, di antaranya berupa demo yang masif.

Berbagai bentuk dan isi pembelaan terhadap Ahok pun terang benderang diketahui publik, di antaranya berupa banyaknya karangan bunga.

Apakah majelis hakim tahu semua itu?

Saya yakin majelis hakim yang mulia tahu semua itu.

Majelis hakim pun tahu benar bahwa sebuah pengadilan tidak berlangsung di ruang angan-angan, baik angan-angan yang menghendaki hukuman seberat-beratnya maupun angan-angan yang menghendaki hukuman seringan-ringannya.

Betapa pun dekatnya hubungan Jokowi dengan Ahok, sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Jokowi sebagai Presiden RI dilarang berangan-angan perihal hukuman terhadap Ahok.

Juga Wapres Jusuf Kalla, yang pro-Anies Baswedan.

Berangan-angan saja dilarang, apalagi intervensi.

Bahkan hakim yang mengadili perkara Ahok dilarang berangan-angan tentang perkara yang ditanganinya.

Kekuasaan kehakiman itu merdeka, tetapi tidak untuk dipakai berangan-angan, termasuk berangan-angan bahwa putusannya yang adil tidak menimbulkan pro dan kontra.

Juru bicara Komisi Yudisial diberitakan mengatakan agar majelis hakim perkara Ahok tidak membaca media sosial.

Niatnya baik. Hal itu agar hakim tidak terpengaruh oleh ‘suara-suara’ di media sosial, yang ditengarai dapat membuat hakim menjadi miring ke sana atau ke sini.

Hemat saya, hakim tidak membaca media sosial, rasanya cuma angan-angan juru bicara KY.

Media sosial dapat berisi hasutan, memuat hoax, tetapi hakim tidak membaca media sosial kiranya hakim kuno.

Tidak elok berpandangan bahwa hakim yang menangani perkara Ahok hidup di masa yang silam.

Mereka hakim modern yang hidup di abad ini, di era digital.

Mereka tahu benar hiruk pikuk di ruang publik, di luar pengadilan, termasuk kehebohan di media sosial.

Akan tetapi, yang mereka pegang teguh ialah fakta hukum di dalam sidang pengadilan.

Mereka tidak memutus perkara atas nama hiruk pikuk, atas nama media sosial, atas nama angan-angan keadilan, tetapi ‘demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Ahok ialah orang yang langka di negeri ini. Kinerjanya kinclong sebagai gubernur, tetapi petahana yang kalah dalam pilkada.

Ahok juga warga negara yang langka karena, suka atau tidak suka, pertarungannya di pilkada Jakarta menguak kenyataan bahwa keindonesiaan belum rampung, bahwa sebagai bangsa yang majemuk kita punya pekerjaan besar persatuan dan kesatuan.

Akan tetapi, di mata hukum, Ahok bukan siapa-siapa.

Amien Rais, Prabowo, Rizieq Shihab, pun bukan siapa-siapa.

Megawati, Surya Paloh, juga bukan siapa-siapa.

Jokowi, Jusuf Kalla, pun bukan siapa-siapa. Saya? Sudah pasti bukan siapa-siapa.

Siapa pun tak perlu berangan-angan perihal vonis Ahok karena bukan siapa-siapa.

Besok, yang siapa-siapa itu, hanyalah majelis hakim yang mulia, yang bebas merdeka menjatuhkan putusan.

Vonis ditetapkan bukan berdasarkan angan-angan, melainkan berdasarkan fakta di dalam sidang pengadilan, yaitu demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.