Pencalonan Presiden
SABAN kali pemilu, saban kali itu pula Undang-Undang Pemilu hendak diubah.
Terlebih Pemilu 2019, gara-gara MK memutuskan pileg-pilpres dilaksanakan serentak, terbuka pintu bagi DPR dengan alasan kuat mengubah ambang batas pencalonan presiden, bahkan meniadakannya.
Alasan kuat itu menyangkut hak konstitusional partai politik mengusulkan calon presiden.
Pasal 6A ayat (2) UUD hanya mengatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Konstitusi tidak secuil pun mengatur perihal ambang batas pencalonan presiden, juga tidak secuil pun memerintahkannya untuk diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Yang diperintahkan diatur lebih lanjut dengan undang-undang, menurut Pasal 6 ayat (2) UUD, ialah syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden.
Ambang batas pencalonan presiden ‘kreativitas’ pembuat undang-undang.
Selama ini kreativitas itu dipandang adil dari segi hasil pilihan rakyat karena pileg diselenggarakan sebelum pilpres.
Perolehan suara rakyat atau kursi DPR hasil pileg dapat dijadikan alasan yang adil secara politik untuk menentukan ambang batas pencalonan presiden.
Akan tetapi, alasan adil itu hilang atau tidak relevan lagi, alias menjadi tidak adil, karena pileg dan pilpres diselenggarakan serentak.
Masak masih menggunakan hasil Pileg 2014? Sejak keputusan MK itu, sebetulnya tidak ada lagi kaitan antara besarnya kepercayaan rakyat kepada partai politik yang diperlihatkan besarnya perolehan suara rakyat atau kursi DPR pada Pemilu 2014 dan hak partai atau gabungan partai mengusulkan calon presiden pada Pemilu 2019.
Perlu dikemukakan, sampai empat kali perubahan UUD, tidak ada ketentuan dalam konstitusi bahwa pileg dan pilpres diselenggarakan serentak.
Hal itu pun lebih merupakan ‘kreativitas’ MK, yaitu menciptakan hukum ketatanegaraan yang dapat berdampak terpisahkannya legitimasi dan legalitas hasil pilihan rakyat di DPR dengan kelayakan mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Sebetulnya MPR hasil reformasi yang dipimpin Amien Rais berpeluang menguantifikasi perolehan suara atau kursi partai di DPR sebagai ambang batas pencalonan presiden.
Namun, mereka tidak melakukannya.
Padahal, di lain pihak mereka melakukannya terhadap APBN, yaitu menguantifikasi anggaran pendidikan 20% APBN.
Kini, tiga atau empat partai menginginkan ambang batas mengusung calon presiden 0%.
Alias sepenuhnya tanpa ambang batas. Sebaliknya, mayoritas partai masih ingin mempertahankan ketentuan yang berlaku, yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai atau gabungan partai yang punya 20% kursi di DPR atau meraih 25% suara rakyat hasil pileg.
Bila keinginan mayoritas itu yang kembali menjadi undang-undang, ketentuan ambang batas itu bisa dibawa ke MK.
Tidak mengherankan bila MK sebagai pengawal konstitusi mengabulkannya kendati berlawanan dengan suara mayoritas di DPR.
Dampaknya, karena semua partai peserta pemilu serentak dapat mengusulkan calon presiden, praktis kekuasaan pencalonan presiden berpindah sepenuhnya kepada keputusan KPU.
Bukankah KPU, berdasarkan uji faktual, yang memutuskan partai menjadi peserta pemilu? Berdasarkan skenario itu, tiket untuk mengusulkan calon presiden ditentukan apakah faktual partai punya kantor, pengurus, dan anggota di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, serta 50% kecamatan. Kapital menjadi faktor utama.
Partai peserta pemilu yang baru berdiri pun dapat mengusulkan calon presiden.
Teoretis tidak dapat dihindarkan bakal bermunculan banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Uji kepublikan yang dilakukan partai, entah melalui konvensi yang terbuka, jadi pemanis belaka.
Kebanyakan capres diusulkan partai bukan dengan keyakinan bakal menang, melainkan cuma uji coba sekalian memperkaya riwayat hidup yang bersangkutan.
Iseng-iseng berhadiah untuk riwayat hidup itu biarlah terjadi.
Toh ujungnya jelas, suatu masa tiba kapok menjadi capres karena kalah melulu, padahal ongkosnya terlalu mahal.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.