Pelaksana Tugas

257

ORANG sepertinya mulai jengkel dengan lagak Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono. Lagaknya yang terakhir ialah rapat di kereta api dalam perjalanan Jakarta-Yogyakarta. Tak terbayang betapa dahsyat lagaknya bila ia gubernur permanen. Sumarsono menjadi Plt Gubernur Jakarta dalam kedudukannya selaku Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri.

Otonomi daerah urusan besar di negeri ini yang belum sepenuhnya selesai, yaitu antara harapan berotonomi yang diusung reformasi dan kenyataan berotonomi yang di sana-sini kebablasan. Dalam euforia otonomi, bahkan pernah dibentuk menteri negara otonomi daerah, tetapi kemudian cepat dilikuidasi sehingga usianya hanya setahun (1999-2000). Lima belas tahun kemudian, pada 10 Agustus 2015, Presiden Jokowi membentuk Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang diketuai wakil presiden. Sekalipun payung hukumnya baru, yakni UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hemat saya, pembentukan DPOD itu tetaplah menunjukkan betapa ruwetnya penanganan otonomi daerah sehingga memang diperlukan dewan pertimbangan yang dipimpin RI-2.

Tugasnya antara lain menangani rancangan dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dan/atau perselisihan antara daerah dan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.

Tidak bermaksud merendahkan, jika dibandingkan dengan urusan pemerintahan umum, misalnya, tampaklah bahwa urusan otonomi daerah urusan yang lebih complicated. Karena itu, seyogianyalah bila persyaratan yang harus dipenuhi orang yang dipercaya untuk menduduki jabatan dirjen otonomi daerah pun lebih kompleks ketimbang dirjen pemerintahan umum. Bila terjadi rotasi-mutasi, lebih logis dari dirjen pemerintahan umum menjadi dirjen otonomi daerah, bukan sebaliknya.
Dirjen Otonomi Daerah Soni Sumarsono harus diasumsikan memenuhi persyaratan tersebut. Ia pun tahu betul bahwa pelaksana tugas bersifat sementara. Karena itu, kekuasaannya sebagai pelaksana tugas tidak seutuh dan sepenuh gubernur yang sebenarnya, yang untuk duduk di situ bukan hasil penunjukan, melainkan ‘berdarah-darah’ melalui pilkada.

Akan tetapi, Soni Sumarsono dinilai melampaui batas-batas sebagai pelaksana tugas itu. Menjadi sorotan terutama karena berkaitan dengan perkara sensitif, yaitu keuangan negara, yang langsung diperbandingkan dengan Gubernur Ahok. Contohnya, Soni Sumarsono menaikkan anggaran dari Rp68 triliun menjadi Rp70 triliun. Contoh lain, Ahok meniadakan dana hibah untuk Bamus Betawi Rp5 miliar karena Bamus Betawi berpolitik praktis menghendaki gubernur Jakarta orang Betawi. Soni Sumarsono malah memberinya, dengan alasan, “Betawi adalah Jakarta, Jakarta adalah Betawi.

” Bahkan, ia membandingkannya dengan Sulut bukan Sulut, tanpa Minahasa, mengingatkan zaman ia menjadi pelaksana tugas gubernur Sulut. Jakarta dianggap bukan melting pot, bukan pula ibu kota negara. Contoh lain lagi, Ahok mengalokasikan bonus PON besarnya Rp300 miliar, Soni Sumarsono membonsainya menjadi hanya Rp160 miliar, menyebabkan apa yang dijanjikan gubernur definitif dikerdilkan pelaksana tugas gubernur.

Di lain pihak, terdengar kekhawatiran publik, banyak yang telah tertib berkemungkinan semrawut kembali. Kapan Soni Sumarsono meninjau Pasar Tanah Abang? Publik khawatir, apa yang telah dikerjakan di zaman Gubernur Jokowi, di tangan pelaksana tugas, kembali tidak terkendali.

Yang jelas tidak terhindarkan kesan jabatan pelaksana tugas menjadi kancah kekuasaan yang mengasyikkan untuk unjuk diri. Sepertinya pelaksana tugas hendak dijadikan modus mempromosikan diri bahwa ‘saya lebih pantas menjadi gubernur definitif’.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.