Untung Ada Kontras

244

SEBENARNYA sudah lama diam-diam beredar desas-desus di tingkat warga, bahwa dalam perkara narkoba, tersembunyi abuse of power. Akan tetapi, desas-desus itu tetap menjadi desas-desus yang tidak pernah terbongkar dari persembunyiannya karena warga takut. Salah satunya ialah menyangkut desas-desus korban razia mobil. Pengendara mobil bukan pengguna narkoba, bahkan tidak merokok. Namun, dalam razia itu, polisi ‘menemukan’ bungkus rokok berisi narkoba, yang dijadikan barang bukti.

Padahal, pasti tidak ada sidik jari korban pada barang bukti tersebut. Tapi siapa berani melawan aparat negara? Namun, sekarang ketakutan warga seperti tiba-tiba hilang sejak Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendirikan pos koordinasi darurat aparat. Hasilnya, hingga pekan lalu, mengalirlah puluhan laporan warga yang selama ini mendapat perlakuan tidak sesuai dengan prosedur terkait dengan masalah narkoba. Perlakuan tidak sesuai dengan prosedur kiranya sebutan yang lunak. Yang terjadi ialah penyalahgunaan kekuasaan berupa pelanggaran hukum oleh penegak hukum.

Bentuknya bermacam-macam, antara lain, bukan pengguna narkoba, tapi dijerat dan diperas karena dituduh pengguna narkoba. Semua laporan warga itu mencuat, bahkan mungkin meledak, berkat keberanian Koordinator Kontras Haris Azhar membeberkan ke ruang publik wawancaranya dengan terpidana hukuman mati, Freddy Budiman. Di bawah judul Cerita Busuk dari Seorang Bandit: Kesaksian Bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014), Freddy mengatakan dalam beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, ia sudah memberi uang Rp450 miliar ke BNN, Rp90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri.

“Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang dua,” kata Freddy yang dipublikasikan di laman media sosial Kontras. Freddy sudah dieksekusi mati. Saya menduga, mungkin ada kesepakatan Freddy dan Haris Azhar, bahwa wawancara itu hanya boleh dibuka kepada publik setelah Freddy dihukum mati. Haris Azhar memenuhinya, memegang teguh janji itu. Di dalam profesi saya, jurnalisme, kesepakatan dalam kerangka etis seperti itu tidak jarang terjadi, antara lain, berupa embargo yang dipegang teguh, sampai waktunya berita itu boleh disiarkan.

Karena itu, kiranya tidak usah dan tidak perlu, ada pertanyaan kenapa Haris Azhar baru membuka wawancara itu setelah Freddy tiada. Juga sebetulnya tidak perlu terjadi aparat negara mengeroyok Haris Azhar, mengadukannya ke Bareskrim, dengan sangkaan melanggar UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sikap defensif, bahkan overdefensif, di era keterbukaan informasi publik sekarang ini hanya kian memperkuat dugaan bahwa apa yang dibeberkan Freddy dalam wawancara dengan Haris Azhar mengandung kebenaran.

Bahkan, kini warga berani melaporkan kelakukan abuse of power aparat negara, antara lain bukan pengguna narkoba, tetapi di berita acara pemeriksaan (BAP) mereka disebutkan sebagai pemakai. Bahkan, ada yang diperas menjadi ATM. Padahal, pemakai narkoba bukan penjahat, melainkan pasien. Tempatnya bukan di penjara, melainkan di rumah sakit, di klinik, di pusat-pusat rehabilitasi. Penjahat ialah penyelundup, pembuat, penjual, dan pengedar narkoba. Berbagai bentuk ‘ATM’ itulah yang kiranya sangat patut diduga sebagai jawaban kenapa narkoba malah kian marak dan ganas di negeri ini.

Sepertinya terjadi hubungan aneh, kian gencar pemberantasan narkoba, kian menjadi-jadi jumlah korban narkoba. Pembawa ganja sering kali tertangkap, tidakkah itu menunjukkan yang sebaliknya, ladang ganja tidak pernah dapat tuntas dimusnahkan? Kerapnya muncul pemberitaan barang bukti narkoba dimusnahkan dengan cara membakarnya, sebaliknya menimbulkan syak wasangka, tidakkah semua itu penanda bahwa narkoba tiada kunjung bisa dibasmi? Semua itu cuma show keberhasilan di permukaan?

Tidaklah berlebihan mengatakan revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi belum sampai ke ranah pemberantasan narkoba. Masih amat jauh menjadi kenyataan. Salah satu cara mempercepatnya warga turut serta menegakkan terwujudnya aparat yang bersih, dengan cara berani melaporkan kepada Kontras semua penggunaan kekuasaan yang mereka derita. Sebaiknya, Kontras tidak buru-buru mengakhiri pos koordinasi darurat aparat yang mereka dirikan.

Terus terang, kehidupan berbangsa dan bernegara mundur bila kita kembali mengalami suasana negara berhadap-hadapan dengan warga yang diperankan civil society, dalam hal ini Kontras. Semua itu mengingatkan kembali perihal orang hilang dan, tentu, ‘hilangnya’ Munir. Kembali ke pokok persoalan, untung masih ada Kontras dengan koordinator yang berani mengungkapkan wawancara dengan Freddy Budiman.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.