Vetocracy

319

KPU telah menetapkan tiga peraturan baru kendati belum di­konsultasikan dengan pemerintah dan DPR. Alasannya, langkah itu diambil karena KPU harus taat jadwal tahapan pilkada yang telah dibuat. Kalau ada masukan dari DPR atau pemerintah, dan KPU menyetujui­nya, KPU akan merevisi peraturannya. Bagaimana kalau DPR atau pemerintah atau keduanya memveto, yaitu tidak menyetujui substansi dan rumusan pasal-pasal dalam peraturan KPU itu?

Kewajiban KPU mengonsultasi­kan peraturan yang dibuatnya ke­pada DPR dan pemerintah merupakan perintah undang-undang pilkada yang baru disahkan DPR. Ka­ta ‘konsultasi’ tidak mengandung makna ‘keharusan untuk dituruti’, tetapi undang-undang menguncinya ketat dan keras. Konsultasi itu dilakukan dalam rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. Bila KPU tidak mengindahkannya, apalagi menyepelekannya, kiranya itu urusan serius.

Yang jelas, perintah undang-undang agar KPU mengonsultasikan peraturan yang dibuatnya menambah panjang daftar ‘ve­tocracy’ setelah empat kali perubahan UUD 1945. Label ve­to­cracy berasal dari pakar Francis Fukuyama. Itu salah satu fak­tor yang menyebabkan AS mengalami political decay, dis­fungsi politik.

Orisinalnya, kewenangan memveto itu merupakan checks and balances untuk mencegah eksekutif terlalu berkuasa. Nyatanya malah membuat sistem pengambilan keputusan terlalu demokratis, memberi terlalu banyak aktor ‘senjata’ untuk melumpuhkan penyesuaian-penyesuaian kebijakan publik, membuat langka kebijakan inovatif.

Kebijakan kepublikan eksekutif lebih mudah dijegal karena judisialisasi pemerintah (judicialization of government) dan abnormal besarnya peranan kelompok kepentingan.

Sedikit atau banyak hal itu pun terjadi di negeri ini. Contoh mutakhir, begitu undang-undang pengampunan pajak disahkan DPR, dengan sigap kelompok kepentingan berupaya menjegalnya melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Jika MK menga­bulkannya, terjadilah judicialization of government terhadap kebijakan pemerintah yang inovatif, yang baik buat negara. Dalam kerangka besar bernegara, itu berarti MK kian memperkuat vetocracy.

Celakanya, MK tidak selalu membuat putusan berbasiskan bunyi/kemurnian konstitusi, tetapi interpretasi. Bertambah celaka, keputusan MK itu bersifat final, sekalipun berbasiskan tafsir semata dan konstruksi pikiran hakim konstitusi semata. Demikianlah, dengan kewenangannya, MK mutlak menjadi rezim vetocracy.

MK lahir buah reformasi. Pada mulanya, ia pun organ negara dalam rangka checks and balances atas kekuasaan eksekutif sebelumnya, yang sangat berkuasa, selama 32 tahun, yang antara lain sesukanya memproduksi undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, tanpa bisa diuji material.

Contoh lain, Pak Harto gampang-gampang membuang orang dengan cara mendutabesarkannya. Melalui perubahan pertama UUD 1945, dilakukanlah checks and balances, yaitu dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. Kata ‘memperhatikan’ terasa lunak. Padahal, sama artinya dengan ‘mengindahkan’, ‘memandang dengan sungguh-sungguh’, bukan dengan sebelah mata.

Akan tetapi, reformasi kebablasan menjadi vetocracy bukan terutama melalui perubahan konstitusi, melainkan lebih jauh melalui level lebih rendah, yakni undang-undang. Contohnya, Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Usul pemberhentian dan pengangkatan itu disertai dengan alasannya. Bila DPR tidak memberi persetujuan, samalah substansinya, DPR memveto presiden. Pertanyaannya, kapan, dan pada pasal mana, DPR diberi hak oleh konstitusi untuk memveto presiden?

Tak hanya itu. Pengambilan keputusan Presiden untuk mengang­kat dan memberhentikan Kepala Badan Intelijen Negara pun diperlambat oleh undang-undang karena Presiden hanya dapat mengangkat dan memberhentikannya setelah mendapat pertimbangan dari DPR.

Lihatlah bagaimana evolusi berbagai frasa kunci yang dipakai berkembang memperkuat vetocracy. Di awal reformasi (1999), dalam hal mengangkat duta, ‘Presiden memperhatikan pertimbangan DPR’ (Perubahan Pertama UUD 1945). Tiga tahun kemudian (2002), ‘Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR’ (UU Kepolisian). Dua belas tahun setelah reformasi (2011), Kepala BIN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR’ (UU Intelijen Negara).

Terakhir, 17 tahun setelah reformasi (2016), vetocracy menim­pa KPU. Penyusunan dan penetapan peraturan KPU dilakukan ‘setelah berkonsultasi dengan DPR, dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat’ (UU Pilkada).

Padahal, Perubahan Ketiga UUD 1945 pada 2001 mengatakan, ‘Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.’ Itu berarti 15 tahun kemudian, kemandirian yang diberikan konstitusi itu dipenggal oleh vetocracy melalui undang-undang pilkada yang kedudukannya lebih rendah. Bertambah sinting, pembuat undang-undang mengajak dan melibatkan pemerintah untuk sama-sama membonsai kemandirian KPU.

Perkembangan vetocracy itu harus dihentikan. Bila tidak, negara ini bakal berantakan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.