Ruang Bernapas

220

TIAP orang perlu ruang bernapas. Terlebih yang napasnya tersengal-sengal.

Bahkan, ada orang yang senantiasa perlu berjaga-jaga, membawa tabung oksigen. Dalam keadaan pingsan, orang butuh napas buatan.

Tiap orang juga butuh ruang berpikir.

Yang pikirannya luas sekalipun tetap perlu memperluas ruang berpikir. Terlebih yang pikirannya sempit dan picik.

Yang memprihatinkan ialah bila orang memerlukan keduanya sekaligus.

Ia butuh ruang bernapas karena tersesak, dalam waktu yang sama, ia pun butuh ruang berpikir karena terdesak.

Tersesak bisa bikin semaput, terdesak bisa bikin kalap. Untunglah tidak ada orang pingsan masih kalap.

Sebaliknya, celaka, orang kalap bisa berujung pingsan atau sesat.

Negara pun seperti manusia, organisme yang membutuhkan ruang bernapas dan ruang berpikir.

Hanya hewan yang bernapas, tapi tidak berpikir, apalagi berfilsafat.

Sekarang ini, bukan negara kecil yang membutuhkan ruang bernapas atau ruang berpikir, melainkan negara besar.

AS perlu ruang berpikir untuk tidak tersesat memilih presiden, sedangkan Inggris perlu ruang bernapas agar tidak tersesak berkepanjangan setelah keluar dari Uni Eropa.

Di dinding ruang kerjanya, di Lantai 26 Trump Tower, di Manhattan, Trump memajang sampul majalah Fortune, Business Week, GQ, Play Boy, yang menampilkan dirinya.

Trump lebih seksi, lebih banyak mendapat liputan media ketimbang Hillary Clinton.

Akan tetapi, meminjam pendapat majalah Time, liputan (coverage) tidak usah diterjemahkan sebagai kejelasan, kejernihan (clarity).

Karena itu, demi kejelasan/kejernihan, Time suatu pagi berbincang dengan Trump, menggali, apa yang perlu diketahui seorang presiden, yang pengetahuannya banyak salah.

Trump, misalnya, menyebut Barack Obama lahir di Hawaii, padahal di Kenya.

Dalam kacamata Time, Trump tidak lulus. Seorang pemimpin negara tidak perlu bergelar PhD, dan tidak ada Presiden yang tahu segalanya.

Akan tetapi, Presiden AS haruslah punya vocabulary pemerintahan dan kenegaraan yang dasar.

Ia harus tahu tiga serangkai nuklir, apa bedanya Syiah dan Sunni, bukan Hamas dan Hezbollah, hal berbeda yang sering disebut Trump.

Peraih Pulitzer Thomas L Friedman, dalam kolomnya di International New York Times, bahkan menyamakan Trump dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang sehari setelah kudeta militer gagal, memecat 2.745 hakim dan jaksa.

Bagaimana ia tahu secara pasti dalam sehari segitu banyak yang dilengserkan? Tidakkah itu menunjukkan bahwa dia punya daftar musuh?

Kalau Trump terpilih, Amerika tidak bakal mengalami kudeta militer.

Namun, Friedman percaya, Trump akan menjadi ‘presiden kacau balau’.

Kalau Anda suka dengan apa yang terjadi di Turki sekarang, Anda akan mencintai Trump sebagai presiden.

Semua itu berintikan pesan dan sikap sangat kuat bahwa rakyat AS perlu ruang berpikir untuk tidak salah memilih presiden yang bernama Donald Trump, yang menjadikan kebohongan sebagai napasnya.

Bagaimana dengan Inggris? AS perlu ruang berpikir, sedangkan Inggris perlu ruang bernapas.

Inggris telah menggunakan ruang berpikir, hasilnya Brexit menang.

Sekarang perlu ruang bernapas, sebagai akibat keluar dari Uni

Eropa.

Theresa May, PM Inggris yang baru, tahu benar kepada siapa ia bakal mendapatkan ruang bernapas itu.

Hal pertama yang dilakukan perempuan perdana menteri itu ialah mengunjungi Kanselir Jerman Angela Merkel, perempuan hebat yang sangat berpengaruh di Uni Eropa.

Hasilnya? Merkel menunjukkan sinyal memberi ruang bernapas, waktu bagi pemerintahan May yang baru untuk membereskan apa yang mereka inginkan setelah bercerai dengan Uni Eropa.

Bagaimana dengan kita? Kita pun sebaiknya memberi ruang bernapas bagi anak buah Santoso untuk menyerahkan diri.

Memberi ruang bernapas, bukan merenggut napas mereka.

Terlebih setelah TNI menangkap tanpa kekerasan istri Santoso.

Serentak dengan itu, kiranya pemerintah leluasa menggunakan ruang berpikir untuk memberi pengampunan.

Bukankah Bung Karno pernah memberi amnesti kepada pemberontak agar turun gunung? Setelah pengampunan pajak yang sukses, rasanya kini giliran pengampunan politik.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.