Mangkrak

292

FAKTA paling menyedihkan di Republik ini ialah bila terjadi lagi mangkrak.

Sebab, di belakang mangkrak pasti ada korupsi, ada skandal. Semakin ‘masif’ mangkrak, semakin ‘masif’ pula korupsi/skandal yang terjadi.

Terus terang, saya amat penasaran saban kali membaca berita mangkrak.

Timbul pertanyaan, sejak kapan hal ikhwal mangkrak merebak di negeri ini?

Sebagai reporter, di awal 1980-an, rasanya saya tidak pernah mendapat penugasan meliput perihal mangkrak.

Lebih 30-an tahun kemudian, sering benar terbaca laporan jurnalistik mengenai mangkrak.

Salah satu cara untuk menjawab rasa penasaran itu menggunakan pendekatan leksikografis, menyelisik masuknya ‘mangkrak’ menjadi kosakata baku, masuk ke kamus bahasa Indonesia.

Hasilnya, mengagetkan!

Dari sudut pandang leksikografis, hingga 1966, kata ‘mangkrak’ tidak dikenal dalam khasanah bahasa Indonesia.

Setelah kata ‘mangkok’ yang ada kata ‘mangkubumi’ (yang artinya, antara lain, perdana menteri).

Padahal, alfabetis huruf ‘u’ yang terkandung dalam kata ‘mangkubumi’ berada setelah huruf ‘r’, yang terkandung dalam kata ‘mangkrak’.

Berulang kali memeriksa halaman 573, berulang kali saya tidak menemukan kata ‘mangkrak’ dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bagian Pertama (Huruf A s/d O), karangan WJS Poerwadarminta, Tjetakan IV, 1966.

Apa artinya?

Secara spekulatif, saya berkesimpulan, sejak zaman revolusi kemerdekaan hingga zaman Orde Lama (Presiden Soekarno, 1945-1966), hingga awal Orde Baru (Presiden Soeharto, 1966), bangsa Indonesia belum mengenal perkara mangkrak.

Pasti ada korupsi, tapi tidak berkaitan dengan ikhwal fisik (bangunan ataupun infrastruktur) yang mangkrak.

Penasaran belum terjawab.

Saya teruskan dengan memeriksa halaman 626 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, cetakan keempat, 1995.

Kamus itu merupakan karya Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Kembali tidak ditemukan kata ‘mangkrak’. Setelah kata ‘mangkokan’ yang muncul dalam entri kembali kata ‘mangkubumi’.

Jadi, selama Orde Baru 29 tahun, dari satu kamus ke kamus (1966-1995), kata ‘mangkrak’ belum layak dikamuskan.

Itu pertanda mangkrak belum menjadi buah bibir dalam ranah kepublikan, yang biasanya diangkat (bahkan diperkenalkan) dalam karya jurnalistik.

Salah satu sumbangsih media ialah memperkaya perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia.

Yang semula spekulatif, kiranya layak ‘naik pangkat’, menjadi substansi hipotetis, bahwa mangkrak merupakan produk fenomenal pasca-Orde Baru, di zaman reformasi.

Turunannya sangat tidak enak dikatakan, yaitu reformasi yang menghasilkan pemilihan kepala daerah dan kepala pemerintahan/kepala negara secara langsung juga memproduksi hasil samping skandal fenomenal berupa mangkrak, bahkan mangkrak yang semangkrak-mangkraknya.

Itulah skandal Hambalang.

Proyek Hambalang yang mangkrak itu aset negara yang dibiayai dengan APBN.

Presiden Jokowi telah meninjaunya.

Kiranya ditemukan solusi yang transparan dan akuntabel sehingga aset negara itu layak dilanjutkan pembangunannya demi kemaslahan bersama.

Presiden Jokowi sangat bergiat membangun berbagai fasilitas kepublikan, terutama infrastruktur.

Sampai hari ini, Presiden Jokowi merupakan Presiden RI yang paling sering turun ke lapangan meninjau langsung pembangunan fasilitas kepublikan.

Tulisan ini ingin mengingatkan para pembantunya, Presiden bukan superman, karena itu rajinlah turun mengontrol agar tidak terjadi mangkrak.

Jangan cuma turun ke lapangan karena ‘dicangking’ Presiden!

Anda semua terlalu terhormat untuk menjadi ‘barang’ cangkingan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.