Penjahat atau Pasien

307

INDONESIA bakal terus kekurangan penjara bila semua yang tersangkut narkoba tidak dipilih dan dipisah, antara penjahat dan pasien.

Mencampuradukkan dan menyamakan perlakuan pasien dan penjahat bukan saja salah kaprah, tetapi juga bisa berbahaya.

Sebab, di penjara pula, yang semula pasien, bisa ditempa menjadi penjahat.

Para pengguna narkoba ialah pasien.

Mereka bukan penjahat, tetapi penderita.

Penyakit ketergantungan kepada narkoba yang mereka sandang memerlukan rehabilitasi intensif di rumah sakit, di pusat-pusat rehabilitasi, bukan di penjara.

Sebagai pasien, sedetik pun mereka tidak layak tinggal di bui.

Bahwa ada aturan yang dilanggar, yaitu tidak melaporkan diri sebagai pasien, tidak meniadakan fakta bahwa mereka pemakai, bukan pengedar/penjaja/pemasok/penyelundup narkoba.

Pasien harus diperlakukan sebagai pasien, bukan penjahat.

Lagi pula, memakai narkoba merupakan aib sehingga sukarela melaporkan diri ke polisi sebagai pasien, kiranya nyaris tidak terjadi.

Keluarga pun enggan melaporkannya.

Saat ini jumlah narapidana kasus narkoba membeludak di sebagian besar penjara.

Dapat dipastikan hal itu terjadi karena semua yang terkait dengan narkoba dipandang sebagai penjahat.

Padahal, sebagian besar dari mereka ialah pasien.

Karena itu, merupakan pikiran bijak apabila Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Yasonna H Laoly berani mengoreksi sehingga pasien yang telanjur diperlakukan sebagai penjahat itu dipindahkan dari penjara ke pusat-pusat rehabilitasi.

Dari kacamata memandang mereka sebagai pasien, saya dapat memahami gagasan Menkum dan HAM untuk melonggarkan persyaratan remisi dan pembebasan bersyarat kepada pasien narkoba.

Sebaliknya, kepada para penjahat, yaitu pengedar, penjaja, pemasok, penyelundup, pembuat narkoba, semuanya layak dihukum seberat-beratnya, termasuk hukuman mati.

Sepanjang hukuman mati masih berlaku di dalam hukum positif di negeri ini, sepanjang itu pula hukuman mati yang tidak mendapat grasi presiden, sebaiknya segera dieksekusi.

Jangan biarkan orang hidup tanpa kepastian hukum.

Jika negara memandang hukuman mati tidak patut lagi dilaksanakan karena melanggar hak asasi manusia, sebaiknya hukuman mati dicabut saja dari khazanah hukum Indonesia.

Bila DPR tidak mau melakukannya, presiden dapat memulai lembaran baru, yaitu menggunakan haknya untuk mengabulkan semua permohonan grasi sehingga tidak ada lagi yang berstatus hukuman mati.

Hukuman paling berat tinggal hukuman seumur hidup.

Tentu, itu dilakukan setelah semua yang berstatus hukuman mati dan grasinya ditolak oleh presiden, sudah dieksekusi.

Memperlakukan pasien sebagai pasien, bukan penjahat narkoba, kiranya bakal melahirkan kesimpulan yang berbeda, yaitu ternyata kita tidak kekurangan penjara.

Yang terjadi, kita kekurangan pusat-pusat rehabilitasi bagi penderita narkoba.

Dengan begitu, anggarannya pun mestinya pindah tempat, bukan di Kementerian Hukum dan HAM, tapi di Kementerian Kesehatan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.