Cinta Jabatan

352

LIMA tahun menjadi pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, bagi sebagian besar anggotanya, dinilai terlalu lama. Mereka mendesak masa jabatan itu dipersingkat, tinggal separuh (2,5 tahun).

Akan tetapi, Irman Gusman, Ketua DPD yang masa jabatannya hendak dipangkas, menolak perubahan tata tertib pengurangan masa jabatan pimpinan DPD jika perubahan itu mulai berlaku di periode ini. Ia menilai perubahan tata tertib itu inkonstitusional dan bertentangan dengan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Sikap Irman Gusman itu menuai serangan lebih keras. Sebanyak 60 anggota DPD mengajukan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPD. Rapat paripurna, Senin (11/4), pun kembali gaduh, bahkan ricuh.

Pada hari yang sama, melalui musyawarah mufakat, Mahkamah Konstitusi memilih kembali Anwar Usman sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. “Tidak seperti di lembaga politik yang posisi pimpinan menjadi rebutan, di MK, para hakim justru penuh kerelaan, menyerahkan siapa pun menjabat pimpinan. Hal ini mencerminkan kebersamaan dan sikap negarawan di MK,” kata Ketua MK Arief Hidayat.

Apakah di DPD tidak ada kebersamaan dan sikap negarawan? Ada atau tidak ada, bukan perkara yang perlu dibuktikan. Gaduh dan kemudian ricuh dalam sidang paripurna cukup menunjukkan bahwa pendapat Ketua MK itu, sedikit atau banyak, mengandung kebenaran.

Semua anggota DPD tentulah orang-orang dewasa, orang-orang waras, orang-orang yang punya sense of proportion. Siapa pun mereka, dari daerah mana pun mereka berasal, mereka tahu betul makna beramai-ramai membuat mosi tidak percaya.

Sebaliknya, bila Anda mendapat mosi tidak percaya dari mayoritas anggota, tidak dipercaya lagi sebagai pimpinan, apakah makna legalitas duduk di kursi pimpinan?

Kursi pimpinan di lembaga legislatif kayaknya segalanya yang menyebabkan orang mati-matian mempertahankan diri duduk di situ. Pimpinan tentu saja memiliki banyak privilese. Dalam acara kenegaraan, misalnya, Ketua DPD punya hak protokoler duduk dekat-dekat Presiden RI. Irman Gusman masih manusia biasa, yang wajar saja bila menikmati keistimewaan itu.

Maaf, yang juga wajar dipertanyakan di dunia fana ini ialah bila setelah duduk di kursi kekuasaan enggan berdiri. Sedemikian mendalam cinta kursi jabatan sehingga tidak menjadi ketua seakan-akan diguncang gempa bumi yang dahsyat.

Kayaknya, kursi Ketua DPD merupakan tujuan final, bukan sebaik-baiknya menjadi senator yang efektif mewakili daerah. Pernyataan keras itu layak juga ditujukan kepada penanda tangan mosi tidak percaya, yang menghendaki kursi pimpinan berganti separuh jalan (2,5 tahun). Tidakkah mereka ngiler dengan kedudukan itu? Tidakkah mereka pun cinta mendalam terhadap kursi jabatan dan ingin merasakannya?

Misi tiap orang menjadi wakil rakyat/wakil daerah, terlebih menjadi ketua badan legislatif, tentu bukan untuk menghancurkan, melainkan membangun. Namun, berulang-ulang terjadi paripurna yang gaduh dan kemudian ricuh, tidak bisa lain kecuali dapat dimaknai sebagai menghancurkan.

Jika berbagi kekuasaan, 2,5 tahun berganti pimpinan, lebih besar maslahatnya daripada mudaratnya, kenapa pilihan itu tidak diambil?

Tidak ada yang salah berkukuh berbasiskan undang-undang. Akan tetapi, ada saat hal itu bukan jalan yang bijak untuk ditempuh, yaitu ketika moral altruisme lebih berharga untuk didengarkan dan dituruti ketimbang legalitas kursi jabatan.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.