Bus

330

PIMPINAN DPR tidak akan segera melengserkan ko­lega mereka, Fahri Hamzah, dari jabatan Wakil Ketua DPR sekalipun mereka telah menerima surat dari Partai Keadilan Sejahtera yang memberhentikan Fahri dari semua jenjang keanggotaan partai. Alasan mereka Fahri melakukan perla­wanan hukum; karena itu, tunggulah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Dipecat dari keanggo­taan partai berimplikasi bukan saja dicopot dari jabatan Wakil Ketua DPR, melainkan juga dari keanggotaan DPR. Karier politik Fahri di PKS kayaknya ‘selesai’. Bahkan, dikabarkan ia pun telah dikeluarkan dari grup WA sesama kader PKS.

Perlawanan apa pun yang dilakukan Fahri, pokok pikiran yang mesti tetap tegak ialah tidak seorang pun menjadi anggota DPR bila tidak melalui partai. Partai merupakan syarat mutlak, selaku pengusung. Itulah ‘bus’ yang membawa caleg Fahri Hamzah ke pemilu legislatif.

‘Bus’ itulah pula yang kini menurunkan Fahri di te­ngah jalan. Akan tetapi, ia menolaknya, melakukan perlawanan hukum ke pengadilan negeri. Karena itu, menurut pimpinan DPR, Fahri baru bisa dilengser­kan setelah status pemecatannya berkekuatan hukum tetap.
Di masa lalu, argumen berkekuatan hukum tetap luas diterima, sejalan dengan prinsip praduga tidak bersalah.

Kini, suasana kebatinan publik berubah. Penyelenggara negara tertangkap menggunakan narkoba dilengserkan tanpa perlu menunggu vonis berkekuatan hukum tetap.

Begitu pula terhadap anggota DPR, dalam kasus korupsi. Belum menjadi terhukum, baru tersangka, langsung dipecat dari keanggotaan partai, yang berakibat juga diberhentikan dari keanggotaan DPR. Kenapa? Batin publik tidak toleran terhadap narkoba dan korupsi.

Bagaimana dengan anggota DPR, terlebih pimpinan DPR, yang dipecat dari keanggotaan partai karena tidak mematuhi politik/kebijakan/disiplin/code of conduct partai? Apakah partai/pimpinan partai bisa dituduh melanggar hukum? Substansi persoalan kiranya bukan dalam ranah hukum positif, melain­kan ketentuan internal partai, terutama nilai-nilai pro­posisi partai.

Nilai-nilai itu telah disosialisasikan ke publik, antara lain karena itulah, konstituen memilihnya. Kini partai menilai terjadi pelanggaran berat terhadap nilai-nilai itu sehingga diputuskan untuk menurunkan si pelanggar dari ‘bus’, di tengah jalan. Sebaliknya, si pelanggar menggugat legalitas, yuridis, kesah­an untuk tetap berada dalam ‘bus’.

Hemat saya, pengadilan seyogianya menolak perkara pemecatan anggota partai. Baiklah dibangun yurisprudensi, sengketa internal partai diadili mahkamah partai. Namun, mari berandai-andai. Putusan hukum tetap menyelamatkan Fahri Hamzah. Pemecatannya? Dibatalkan Mahkamah Agung. Apakah Fahri tidak risih, batinnya tetap betah bertahan dalam ‘bus’, padahal ia telah diputuskan diturunkan di tengah jalan? Bahkan, dikeluarkan dari grup WA?

Incompatibility, ketidakcocokan dengan nilai-nilai proposisi partai, hal substansial, merupakan alasan pokok untuk berpisah. Memenangkan pertarungan hukum di pengadilan boleh jadi membanggakan dan memuaskan secara personal, tetapi itu tidak menggugurkan fakta inkompatibilitas, bahwa partai tidak lagi memandang ‘bus’ cocok buat Anda dan karena itu, Anda diturunkan di tengah jalan, tanpa perlu menanti halte terdekat.

Sebaik-baiknya perkara ialah karena inkompatibilitas itu, ketidakcocokan dengan nilai-nilai proposisi partai, anggota DPR mengundurkan diri. Turun dari ‘bus’ dengan suka hati, bukan diturunkan, alias dipecat, lalu berkukuh tetap berada di dalam ‘bus’, mengandalkan putusan berkekuatan hukum tetap.

Lain halnya anggota DPD, yang maju ke pemilu legislatif sebagai calon perseorangan/independen. Mereka tidak naik ‘bus’ mana pun. Karena itu, tidak ada ‘bus’ yang bakal menurunkannya di tengah jalan.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.