Chairman of Everything
MENJADI orang nomor satu Partai Komunis Tiongkok lebih dari cukup untuk bergigi dan berkuasa. Akan tetapi, postulat itu tidak berlaku bagi Presiden Xi Jinping. Ia menjadikan diri pemimpin Tiongkok paling berkuasa dengan cara mengambil semua posisi tertinggi negara dan semua posisi strategis di tangannya, dalam genggamannya.
Sebagai presiden, ia kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok, jabatan tertinggi di partai, dia ex-officio anggota komite politbiro, badan tertinggi pengambil keputusan. Namun, semua itu masih kurang. Ia jadikan dirinya Ketua Komisi Militer Pusat.
Cukup? Ternyata tidak. Xi Jinping secara personal mengontrol pengambilan keputusan ekonomi, keamanan nasional, hubungan luar negeri, sampai soal internet, lingkungan, sengketa maritim. Geremie R Barme, sinolog, profesor sejarah Tiongkok di Australian National University yang memimpin the Australian Centre on China in the World, sampai-sampai membahasakan Xi Jinping sebagai Chairman of Everything, ketua semua hal.
Namun, itu belum memuaskannya. Xi memerlukan pemujaan pribadi. Wajahnya banyak muncul di ruang publik. Bila di Roma ada Papa Francesco, Paus Gereja Katolik Roma (2005-2013), sekalipun Partai Komunis Tiongkok tak beragama, kini di Beijing ada Xi Dada alias Big Papa Xi, Romo Besar Xi. Kekuasaan Xi semula ditengarai hanya melebihi Hu Jintao dan Jiang Zemin, dua pemimpin Tiongkok sebelumnya. Namun, kini pemujaan diri dan otoritas Xi ditengarai lebih dari pemimpin mana pun sejak era Mao Zedong. Fenomena kekuasaan Xi begitu penting, sampai majalah Times dan The Economist, edisi pekan ini, mengangkatnya sebagai cover story.
Xi Jinping, 63, menjadi presiden pada 2012. Ia semula dipujikan bakal membangun pemerintahan bersih. Ia melarang kader partai bermain golf, memecat 270 ribu kader korup. Namun, kini Tiongkok dilanda skandal korupsi besar-besaran anggaran kesehatan. Nilainya puluhan juta dolar AS, antara lain, pembelian vaksin kedaluwarsa yang dijual kepada pasien sehingga menghasilkan uang besar. Paling aktual, keluarga Xi Jinping termasuk dalam daftar skandal ‘Panama Papers’.
Dua tahun berkuasa, Jinping mengatakan Tiongkok akan menyuarakan narasi baik kepada dunia. Tujuan Tiongkok ialah menjadi negara adikuasa sosialis-kultural. Kira-kira sebuah tandingan AS, negara adikuasa kapitalis. Namun, setahun kemudian, 3 September 2015, di Lapangan Tiananmen, Chairman of Everything menggelar parade militer besar-besaran yang belum pernah terjadi. Parade untuk mengingat kekalahan Jepang pada Perang Dunia II itu dihadiri Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Korea Selatan Park Geun-Hye, dan Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Yang jauh lebih penting, kekuatan militer di laut. Seperti hebatnya kekuatan AS di Pasifik Barat, Tiongkok berkeinginan membangun kekuatan setanding di Laut China Selatan dan sekitarnya. Di Laut China Timur, Tiongkok ribut dengan Jepang. Di Laut China Selatan, Tiongkok bersengketa dengan Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan.
Indonesia berperan penting di kawasan itu. Karena itu, ambisi Xi Jinping sebagai Chairman of Everything perlu dicermati. Apakah ia bakal menjunjung tinggi code of conduct, menghormati dialog? Bila ya, Indonesia bisa tersenyum mendayung di antara dua karang, melaksanakan politik luar negeri bebas aktif. Bila tidak, hanya negara bodoh yang mau menabrak karang.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.