Melarang atau Melegalkan

295

TERHADAP berbagai masalah di bawah ini, manakah lebih baik bagi negara, melarang atau melegalkan?

Untuk sejumlah negara seperti Belanda, lebih baik melegalkan daripada melarang.

Setelah dilegalkan, sepertinya bagi mereka urusan pengawasan menjadi lebih mudah.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pertanyaan manakah ‘lebih baik’ melarang atau melegalkan, harus serentak ditanyakan bersamaan dengan, manakah ‘lebih mudah’, melarang atau melegalkan?

Sebab, ‘baik’ dan ‘mudah’ tidak boleh dipisahkan.

Bahwa setelah dilarang, pengawasan ternyata sulit, nantilah diurus.

Posisi berdiri negara itu tidak selalu posisi berbasiskan konstitusi, atau diturunkan dari tafsir atas konstitusi.

Sebab ada ‘konstitusi’ yang hebat dan kuat, bahwa melarang dipilih sesuai dengan prinsip yang jauh tinggi, agama, misalnya.

Karena itu, negara dan warga umumnya, bahkan tidak membuka seinci pun ruang publik untuk membahasnya, sekalipun semata untuk mengasah argumentasi melarang atau melegalkan.

Prostitusi sebaiknya dilarang, tidak dilegalkan.

Bahwa selalu ada ‘penjual’ dan ‘pembeli’ yang sepertinya abadi, menunjukkan realitas klasik dan kuno perihal ‘kebutuhan’, tidak berarti negara memilih melegalkannya.

PSK bukan profesi atau pekerjaan, tetapi pelanggaran moral, akhlak, dan agama.

Karena itu, Kalijodo harus dibumihanguskan.

Bagaimana dengan ganja?

Substansi jawaban sama.

Perbedaannya, lebih sulit melegalkan ganja ketimbang prostitusi.

Melokalisasikan prostitusi relatif lebih mudah daripada melokalisasikan tempat mengisap ganja.

Bagaimana melokalisasikan hal mengisap yang dapat dilakukan di ‘sembarang’ tempat?

Lagi pula, tidak mudah menakar berapa konsumsi ganja yang diizinkan.

Padahal, dosis/takaran itulah yang juga harus dilegalkan.

Sementara ‘jual-beli cinta’, bagaimana menakar dosisnya yang legal?

Akan tetapi, berulang kali tertangkapnya ganja, khususnya asal Aceh, menunjukkan kegagalan negara membasmi penanamannya.

Dari sudut pandang itu, keberhasilan polisi menangkap barang ilegal itu di hilir, bukan prestasi negara, sebaliknya malah menunjukkan kegagalan negara di hulu persoalan.

Aborsi pun lebih baik dan lebih mudah melarangnya daripada melegalkannya.

Polisi menggerebek dua klinik yang melakukan aborsi di Jalan Raden Saleh, Jakarta.

Akan tetapi, pertimbangan serius, mendalam dan arif, harus dilakukan dalam perkara berkaitan medis.

Dilema itu dihadapi Brasil.

Banyak ibu hamil terserang virus Zika yang akan melahirkan bayi microcephaly, kepala abnormal kecil beserta dampak lainnya seperti disabilitas intelektual, masalah penglihatan, dan keterlambatan perkembangan.

Ibu hamil penderita Zika lebih baik aborsi, tapi Brasil pemeluk Katolik, melarang aborsi.

Dalam hukum negara, aborsi pun ilegal. Sejumlah advokat, aktivis, dan ilmuwan meminta Mahkamah Agung agar aborsi yang ilegal itu diizinkan dilakukan terhadap ibu hamil penderita Zika.

Kita tidak ingin virus itu menyerang ibu hamil di negeri ini.

Namun, bila terjadi, pemuka agama dan negara harus berani menjawabnya.

Apakah kita lebih memilih lahir bayi-bayi microcephaly?

Yang paling sulit dari semua isu itu kiranya perihal LGBT (lesbian, gay, biseks, transgender), yaitu mengingkari fitrah manusia.

Seorang pakar sosiologi mengenai trendi berpandangan LGBT itu trend setter.

Jika ia benar, bagaimana melarang trend setter?

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.