Minutasi

348

KEADILAN rupanya tidak mutlak ditentukan hakim. Putusan hakim tidak tereksekusi karena bekerjanya tangan-tangan ‘gelap’ panitera/panitera pengganti. Yang terbuka luas kasus Kepala Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna, yang ditangkap KPK karena diduga menerima suap untuk menunda waktu pengiriman salinan putusan perkara. Yang tidak terbuka luas, panitera melenyapkan berkas fisik perkara. Bukan pula satu atau dua, melainkan 85 berkas fisik perkara. Itu terjadi di Pengadilan Negeri Surabaya.

Hingga kini, berkas itu tidak ditemukan. Pelakunya pun belum tersentuh hukum. Suap, sepertinya tidak lagi terjadi di wilayah kekuasaan hakim, yakni mengubah putusan, tetapi di wilayah administrasi perkara, khususnya lamanya minutasi sehingga terjadi ‘jual beli waktu’. Minutasi ialah pemberkasan perkara yang sudah diputus baik yang telah atau belum berkekuatan hukum tetap. Dalam arti luas, sejak penerimaan berkas perkara hingga pengiriman kembali ke pengadilan pengaju. Lamanya minutasi masalah ‘karatan’, telah dikeluhkan di zaman Ketua MA Bagir Manan, berlanjut di zaman Harifin Tumpa, dan baru di zaman Muhammad Hatta Ali sekarang, pengikisan karat minutasi bakal tuntas dilaksanakan.

Harapan itu bukan semu. Kinerja MA sekarang layak dipujikan. Berkat perubahan dua sistem, produktivitas penanganan perkara di MA meningkat pesat. Pertama, dari semula menggunakan sistem tim hakim untuk sebuah perkara berubah menjadi sistem kamar, yaitu kamar pidana, kamar perdata, kamar tata usaha negara, kamar agama, dan kamar militer. Perubahan itu tidak hanya menghasilkan konsistensi dan kesatuan hukum, tetapi juga mempercepat penanganan perkara. Kedua, perubahan dalam sistem membaca berkas, dari semula bergiliran menjadi serentak. Untuk bisa serentak, ketua majelis hakim harus menetapkan hari dan tanggal musyawarah dan ucapan bagi perkara yang ditanganinya.

Itu melahirkan kepastian waktu penyelesaian perkara. Dengan sistem lama, rata-rata perkara diputus 21 bulan (tepatnya 638,7 hari). Dengan sistem baru, hanya 8 bulan (tepatnya 256,1 hari). Produktivitas MA memutus perkara meningkat pesat. Pada 2014, MA memutus 14.501 perkara, dengan sisa 4.425, yang merupakan sisa perkara terendah dalam 10 tahun terakhir. Namun, produktivitas memutus perkara itu tidak disertai kecepatan minutasi. Pada 2014, lebih seperempat (26,99%) minutasi perkara lebih setahun; terbanyak (43,97%) minutasi 6-12 bulan; hampir seperempat (23,07%) minutasi 3-6 bulan.

Hanya 5,98% perkara yang minutasinya selesai 1-3 bulan. Lamban dan lamanya minutasi membuka peluang korupsi administrasi perkara. Masalah minutasi tidak cuma di MA, wilayah judex jurist, tingkat kasasi yang memeriksa penerapan hukum, tetapi juga di wilayah putusan judex facti, pengadilan tingkat pertama dan banding, yang memeriksa fakta dan bukti. Di situ pun perkara lama ‘mengeram’. Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, kiranya dapat dijadikan model. Minutasi terus dipercepat, dari 79 hari (Mei 2015) menjadi 7 hari (November 2015). Kini minutasi dipatok 2 hari saja. Pengadilan itu satu-satunya pengadilan di negeri ini menjadi anggota International Consortium for Court Excellence yang berbasis di AS. Kalau Kepanjen bisa, kenapa yang lain tidak?

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.