Wali Kota Batu
KEJUTAN perihal anggaran desa dilontarkan Eddy Rumpoko, Wali Kota Batu, Jawa Timur. Katanya, pemerintah kota itu bakal mengembalikan dana desa ke pusat.
Sebabnya, mereka sudah lebih dulu memiliki dana desa
melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sebelum pemerintah
pusat mengalokasikannya melalui anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN).
“Tanpa dukungan anggaran dana desa mandiri, kami
sudah melangkah ke sana karena fokus pembangunan, ya di desa,” kata Eddy
Rumpoko.
Karena sudah punya dana desa atas jerih payah sendiri, tak elok menerima kucuran dana dari pusat.
Untuk apa dobel-dobel?
Bukankah banyak desa tertinggal lebih membutuhkan?
Di tengah kerakusan terhadap anggaran negara, di
tengah adu lihai mendapat alokasi APBN, antara lain dengan menyogok
Banggar DPR sampai tertangkap KPK, sangat mengagetkan ada kepala daerah
mengembalikan anggaran dari pusat.
Terus terang, semula saya tidak percaya, di Republik ini masih ada wali kota seperti itu. Ternyata memang benar-benar ada, betul-betul nyata.
Wali Kota Batu Eddy Rumpoko bukan wali kota jadi-jadian seperti hantu, bukan pula wali kota dalam republik mimpi. Ia riil, bahkan kiranya menjadi model.
Bayangkanlah, betapa mantap negara ini bergerak jika
lebih banyak lagi pemerintah daerah dapat menyediakan dana desa dari
APBD sendiri, lalu mengembalikan dana dari pusat ke APBN.
Itulah sejatinya hendak dicapai, yaitu desa mandiri.
Dana itu dapat dimanfaatkan desa di daerah lain yang lebih memerlukan, yang belum mampu mandiri.
Pemerintah, dalam hal ini khususnya Kementerian Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (KDPDT), mestinya
bergembira bahwa ada pemerintah daerah yang telah berinisiatif
menyediakan anggaran desa dari saku sendiri.
Wali Kota dan DPRD Batu mestinya mendapat penghargaan agar ditiru pemerintah daerah lainnya.
Sang wali kota telah bertemu Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro.
Menkeu dikabarkan dapat memahami pengembalian dana desa itu ke kas negara. Akan tetapi, Menteri DPDT Marwan Ja’far malah menebar ancaman.
Penyaluran dana desa menjalankan undang-undang. Jika kepala daerah, bupati, atau wali kota tidak membuka rekening untuk penyaluran dana desa, bisa dinilai melanggar pidana.
Tak hanya itu. Menteri bakal memberi sanksi tegas.
“Dana alokasi khusus (DAK) daerah itu tidak akan kami berikan terlebih dahulu,” ujar Menteri.
Kiranya dapat dipahami bahwa sikap terpuji Wali Kota Batu itu memerlukan solusi khas. Sebab, yang telah disahkan dalam APBN sebagai undang-undang, peruntukannya tidak boleh dimigrasikan ke tempat lain.
Pertanyaannya, kenapa hal baik tidak boleh dilakukan,
kenapa kebajikan tidak dapat dicarikan jalan keluar agar diterima sah
dan absah dalam sistem keuangan negara?
Keputusan Wali Kota Batu mengembalikan dana desa itu pertama kali terjadi.
Sebagai preseden, tugas DPR-lah selaku pembuat
undang-undang dan pemilik hak bujet mencarikan solusi sehingga
pengembalian dana desa itu dapat diserap kembali ke dalam APBN.
Bukan malah sang Wali Kota diancam pidana, dana alokasi khusus daerahnya ditahan, kayak dana itu milik menteri.
Hari gini, menteri jenis apa itu gerangan?
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.