Minta Maaf
IRONI, pimpinan lembaga tinggi negara masih perlu diingatkan perihal etika jabatan. Bahkan lebih parah, kendati telah diingatkan, tak peduli.
Itulah penilaian yang berkembang terhadap Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang malah bangga bertemu dengan kandidat calon presiden AS, Donald Trump. Keduanya membahasakan pertemuan itu untuk persahabatan kedua negara. Alasan lain untuk memperkuat investasi Trump di Indonesia, yang katanya punya proyek di Bali dan Jawa Barat.
Padahal, Kemenlu dikabarkan telah mencegah mereka bertemu Trump. Kemenlu kemudian menyatakan pertemuan itu bukan atas nama negara Republik Indonesia. Kemenlu perlu mengambil sikap itu untuk menunjukkan Indonesia tidak campur tangan urusan politik dalam negeri AS.
Seorang anggota DPR mengecam Setya Novanto dan Fadli Zon merendahkan DPR dengan menjadi tim sukses capres Trump. Keduanya bahkan dinilai memberi tinja ke wajah DPR. Mahkamah Kehormatan Dewan diminta mengadili keduanya.
Alasan pembenar paling ‘hebat’, berdasarkan hasil survei Trump mendapat suara tertinggi ketimbang Hillary Clinton dan Marco Rubio, dua kandidat capres lainnya. Paling hebat karena sepertinya Setya Novanto-Fadli Zon yakin betul hasil survei tidak berubah. Padahal, apa pun hasil survei dan sekalipun kelak ternyata benar terjadi, kedua pemimpin DPR tak patut berkunjung ke kandidat calon presiden mana pun.
Pertemuan dengan Trump mulanya dilakukan di lantai 26 Trump Plaza. Setelah itu, mereka diajak turun ke lantai dasar serta melihat acara konferensi pers. Alasan paling ‘lucu’, sebagai orang Timur yang memiliki kesantunan, ajakan dipenuhi. Alasan paling ‘kerdil’ ialah anggapan munculnya isu dukungan politik Setya Novanto kepada Trump ialah pengalihan isu atas krisis ekonomi di Indonesia.
Di saat rupiah melemah, harga-harga naik, pengangguran bertambah, isu itu diolah untuk alihkan isu substansial. Pernyataan itu disampaikan Nurul Arifin selaku Staf Khusus Ketua DPR Bidang Komunikasi Politik.
Sesungguhnya tiap jabatan publik memiliki etikanya sendiri. Tiap pemangku jabatan publik menyandang kehormatan yang melekat dalam jabatan. Noblesse oblige. Terlebih wakil rakyat yang terhormat, terlebih lagi mereka yang duduk di puncak lembaga tinggi negara, selaku Ketua dan Wakil Ketua DPR.
Akan tetapi, atas semua ketidakpatutan yang telah dilakukan dicarikan alasan pembenar yang justru kian memperkuat betapa tidak eloknya yang telah dilakukan. Atas pamrih apa pun, membela pertemuan dengan Trump samalah mempertahankan yang tidak mungkin dapat dipertahankan. Publik tidak usah direpotkan untuk menerima apa yang tidak mungkin diterima.
Hemat saya, Setya Novanto-Fadli Zon tidak memerlukan pleidoi panjang lebar jenis apa pun di hadapan Mahkamah Kehormatan Dewan. Kiranya, sebaiknya, mahkamah tidak usah dipertaruhkan keberanian dan integritasnya untuk mengadili pimpinan dewan. Yang diperlukan setitik kejujuran, dada sedikit lebar, Setya Novanto-Fadli Zon merendah mengaku salah, minta maaf. Perkara selesai.
Membawa kedua pemimpin DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan menambah gaduh saja. Bahkan dapat membuka polemik untuk menjadi pimpinan dewan ternyata perlu fit and proper test, terutama berkaitan dengan martabat jabatan. Hal serupa bisa merembet ke pimpinan komisi. Daripada merusak tatanan, baiklah minta maaf.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.