Langkahi Mayatku
JUDUL itu bukan kalimat saya. Itu jawaban Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada Belanda. Dalam menghadapi provokasi Belanda agar ia turun
takhta, Sultan antara lain mengumumkan bahwa ia siap mati membela
keraton agar tidak diacak-acak seperti Gedung Kepatihan.
“Langkahi mayatku,” kata Sultan.
Hal itu dapat dibaca dalam biografi Sultan, A Prince in a Republic, karya John Monfries. Tebal 376 halaman, terbit di Singapura (2015), buku
itu berasal dari tesis doktor di Australian National University dan
menjadi biografi politik pertama Sultan dalam bahasa Inggris.
Pengarangnya pernah bertugas di Kedutaan Australia di
Indonesia (1969-1971), menjadi konsul di Belanda dan Brunei, serta
beristrikan kerabat Yogyakarta.
Ia fasih bahasa Belanda, Indonesia, dan mengerti
Jawa, ditambah jaringan, membuat dia mampu mengakses sumber dan dokumen
sehingga, menurut Profesor Emeritus Virginia Hooker dalam kata
pengantar, Dr Monfries berhasil mengungkapkan kompleksitas tindakan dan
keputusan Sultan selaku seorang raja di dalam sebuah Republik.
Belanda tidak menyangka setelah menjadi sultan, Dorojatun sangat keras membela Republik melawan Belanda. Semasa sekolah HBS di Bandung, Dorojatun, misalnya, mondok di keluarga tentara Belanda, Lt Col de Boer. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VIII, menginstruksikan ia diperlakukan sebagai anak orang biasa.
Ketika mendaftar di Universitas Leiden, ia hanya memakai nama Dorodjatoen, bukan nama ningrat RM Dorodjatoen. Selama studi di fakultas indologi di Leiden, Dorojatun pun tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis. Karena itu, Belanda mengira setelah menjadi sultan, ia bersikap kompromistis.
Belanda keliru besar. Untuk pertama kali negosiasi kontrak politik Belanda dan keraton menelan waktu berbulan-bulan. Sangat lancar berbahasa Belanda dan paham manner Belanda, Dorojatun tahu dan paham betul isi kontrak. Sang Raja telah belajar berbagai ilmu di universitas hebat dengan mayor ekonomi.
Di tahun-tahun terakhir studinya, ia bahkan menyukai hukum konstitusional dan hukum administrasi. Lawan berundingnya Gubernur Lucien Adam, 49, pejabat senior yang juga belajar di Universitas Leiden bahkan meraih doktor hukum. Sebagai sesama intelek dari Leiden, mereka saling meminjam buku.
Dalam benak Adam perundingan bakal produktif. Ternyata alot dan keras. Bahkan, tak ada foto resmi sang gubernur dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Padahal, di masa itu lazim raja dan gubernur berfoto
resmi bak foto pasangan perkawinan dengan posisi, dipandang dari kamera,
gubernur di sisi kanan.
Menurut Dr Monfries, jika pada 1940 dibuat daftar 20
nama tokoh menduduki posisi penting, lalu daftar sama dibuat pada 1970,
hanya nama Sultan Hamengku Buwono IX muncul di dua zaman berbeda.
Itu menunjukkan besarnya peran Sultan. Di tengah
ketidakpercayaan elite militer kepada pemimpin sipil, Sultan dihormati
keduanya. Itu kiranya faktor penting membuat Soeharto menjadikannya wakil presiden.
Sebagai wapres, Sultan berperan besar memulihkan ekonomi yang remuk berat. Contoh lain, pada 1950, Hatta (perdana menteri) dan
Sultan (menteri pertahanan) membentuk cikal bakal badan intelijen dengan
mengirim 10 orang muda mengikuti pelatihan CIA di Amerika.
Di tengah kemelut politik di parlemen disusul
pecahnya Peristiwa 17 Oktober 1952 yang melibatkan tentara, Sultan
bersuara keras agar mendahulukan prioritas nasional, bukan kepentingan
partai.
Berbicara melalui radio di Yogyakarta, seperti
diberitakan koran Kedaulatan Rakyat (2/1/1953), Sultan mengatakan siapa
yang menyebut dirinya pemimpin agar belajar mengendalikan diri dan
menjauhi emosi.
Seruan itu relevan hingga kini, di tengah lenyapnya
heroisme ‘langkahi mayatku’ dari kebanyakan jiwa dan raga yang disebut
pemimpin.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.