Tua-Tua Keladi

272

DALAM konflik kepengurusan partai muncul harapan agar senior dan sesepuh membantu islah. Harapan itu misalnya terbit dalam kemelut PPP. Tua-tua keladi, makin tua makin berbudi. Karena itu, kearifannya diperlukan agar recok kepengurusan selesai dalam damai. Senior dan sesepuh diminta turun gunung tak hanya terjadi di partai.

Itu seperti yang dialami Tumpak Hatorangan Panggabean, Wakil Ketua KPK periode I (2003-2007). Sang senior dalam usia 66 diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggantikan Antasari Azhar, kemudian terpilih menjadi Pelaksana Tugas Ketua KPK. Itu terjadi 2009, berkaitan dengan konflik ‘cecak vs buaya’, ketika Polri
menetapkan pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah sebagai tersangka. Hal serupa terulang kembali setelah pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dijadikan sebagai tersangka. Presiden Jokowi kemudian mengangkat senior lainnya, Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK periode I, menjadi Pelaksana Tugas Ketua KPK periode ketiga (2015), dalam usia 69.

Sebelumnya dalam persoalan kedudukan Kapolri Komjen Budi Gunawan, Presiden membentuk Tim Sembilan diketuai sesepuh, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, berumur 80. Duduk dalam tim
itu senior antara lain Jimly Asshiddiqie (mantan Ketua MK), Erry Riyana Hardjapamekas (mantan Wakil Ketua KPK), dan Oegroseno (mantan Wakapolri).

Apa yang salah di bangsa ini sehingga senior dan sesepuh kembali turun tangan? Apakah itu tanda gagalnya regenerasi? Senior dan sesepuh diasumsikan memiliki kematangan hidup, mestinya bukan matang karbit. Bukan pula tua-tua cempedak, makin tua makin banyak bedak untuk menutupi kepalsuan dan kemunafikan.

Akan tetapi, jika ditilik dari sudut pandang sejarah kepemimpinan di negeri ini, turun gunungnya senior dan sesepuh itu kemunduran. Bung Karno dan Bung Hatta memimpin pergerakan kemerdekaan di usia 20-an. Mereka jadi presiden dan wakil presiden di usia 40-an. Bahkan Sjahrir jadi perdana menteri pada usia 39. Ketika mendapat Surat Perintah 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto berumur 45.

Konflik di tubuh Golkar pecah ketika Aburizal Bakrie berusia 69 dan Agung Laksono 66. Betapa kurang ajarnya saya bila berani mengatakan umur mereka saja senior, tetapi remaja dalam berorganisasi. Pada usia 34 Agung telah menjadi Ketua AMPI dan pada umur 31 Ical menjadi Ketua Hipmi. Sebaliknya yang terjadi di tubuh PPP, junior melawan senior. Romahurmuziy berumur 40 dan Suryadharma Ali 59. Yang tua jadi tersangka KPK, yang muda mendepaknya karena yang tua tak kunjung mundur. Boleh, kan, saya mengoversimplifikasi yang terjadi tua-tua keladi, makin tua makin jadi serta muda-muda nanas, yang muda ganas terhadap kekuasaan?

Ada contoh lain. Jika Partai Demokrat akhirnya definitif hasil kongres dipimpin SBY yang berumur 66 menggantikan Anas Urbaningrum yang menjadi tersangka KPK, yang naik takhta di puncak partai di usia 41, sulit mencari penjelasan lain kecuali sang sesepuh kayaknya harus turun gunung untuk waktu entah sampai kapan. Tak ada tempat bagi pleidoi bahwa regenerasi terlalu cepat. Regenerasi jelas gagal, padahal itu hasil kompetisi yang diklaim demokratis antara Anas dan Andi Mallarangeng, 47.

Tidakkah terjadi tanda-tanda kegagalan nasional dalam fungsi generatif kepemimpinan publik? Jawabnya ya. Itu membuat saya jadi tua-tua manggis, makin tua makin meringis.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.