Restu untuk Kader Melompat-lompat

314

APAKAH tepat penghakiman terhadap seorang kader partai yang melompat-lompat, dari satu partai ke partai lain?

Hitam putih kader itu dihakimi sebagai orang yang tidak setia.

Jika model penghakiman itu yang dipakai, kiranya cukup signifikan jumlah elite dari Sabang sampai Merauke yang tergolong tidak setia.

Mereka disebut kutu loncat atau kader kos-kosan.

Semuanya bernada negatif karena memandangnya dari sisi sempit, partai yang ditinggalkan.

Padahal, melompat-lompat itu bagus bila dipandang dari kepentingan yang lebih besar.

Partai ialah salah satu pilar penting demokrasi.

Suatu partai tidak selamanya pas untuk ukuran ‘badan’ dan ‘baju’ seorang kader.
Dalam pilihan perseorangan itu, sepanjang ideologi partai sama, bahkan visi dan misi sama, padahal partai itu bersifat terbuka, menjadi ‘pelompat indah’ untuk tanggung jawab yang lebih besar perlu mendapat dukungan positif.

Sebutlah misalnya tanggung jawab yang lebih besar dari bupati atau wali kota menjadi gubernur.

Orang itu punya pandangan vertikal pengembangan diri untuk menjadi pemimpin yang lebih luas.

Orang macam itu sesungguhnya dan senyatanya tidak boleh lagi dipandang dan diperlakukan semata sebagai milik sebuah partai.

Orang itu anak bangsa, milik bangsa, dan karena itu, partai harus punya rasa hormat kepada kemampuan perseorangan.

Dalam perspektif tanggung jawab yang lebih besar itulah orang sekaliber Ridwan Kamil perlu dipandang dalam pencalonannya menjadi Gubernur Jawa Barat.

Mengutip sebuah pendapat, kepemimpinan ialah kemampuan membuat batas-batas baru dan melampauinya.

Batas-batas baru itu yang ingin ditembus Ridwan Kamil dengan memimpin salah satu provinsi terbesar di negeri ini.

Seorang Khofifah Indah Parawansa kiranya contoh lain yang juga berhasrat besar membuat batas-batas baru dan melampauinya dengan menjadi Gubernur Jawa Timur.

Ia berhasrat besar, bahkan tanpa mengenal kalah dan menyerah.

Ia terus memelihara gairahnya untuk memimpin Jawa Timur, sekalipun dua kali kalah dalam pilgub.

Yang menarik, Ridwan Kamil dan Khofifah, keduanya belum punya calon wakil gubernur.

Tampaknya partai pengusung mereka cenderung memberikan kebebasan kepada keduanya untuk memilih sang wagub.

Terbaca di permukaan, antara lain, kedua cagub itu bakal memilih bupati yang masih aktif sebagai cawagub.

Untuk Jawa Timur, disebut-sebutnya Bupati Trenggalek Emil Dardak untuk mendampingi Khofifah langsung diserang sebagai tidak etis.

Alasannya, jika itu terjadi, berarti sang bupati praktis berpindah partai serta meninggalkan jabatan bupati yang belum selesai diemban.

Serangan terakhir itu sebetulnya mengada-ada. Negeri ini punya contoh bagus.

Jokowi belum tuntas menyelesaikan masa jabatannya yang kedua sebagai Wali Kota Surakarta ketika dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Ia pun belum menyelesaikan masa jabatannya selaku Gubernur DKI Jakarta ketika menjadi capres.

Jokowi kiranya contoh seorang pemimpin yang membuat batas-batas baru, untuk tanggung jawab yang lebih besar.

Seorang Azwar Anas meninggalkan masa jabatan kedua selaku Bupati Banyuwangi, untuk menjadi cawagub mendampingi Saifullah Yusuf sebagai cagub Jawa Timur.

Kenapa perkara yang sama tidak boleh dilakukan Emil Dardak, Bupati Trenggalek, untuk menjadi cawagub Jawa Timur mendampingi Khofifah?

Anas dan Saiful kiranya juga dua contoh kader yang melompat-lompat.

Tidak ada yang menilai mereka tidak etis secara politik.

Kenapa Emil Dardak, 33, seorang muda cemerlang, dinilai tidak etis dan dihalangi untuk melakukan lompatan indah yang sama, berkeinginan membuat batas-batas baru menjadi pemimpin di Jawa Timur?

Sungguh tidak sehat bagi demokrasi menghalangi Khofifah memilih pasangannya yang dapat meningkatkan keterpilihannya.

Bangsa ini perlu lebih banyak pemimpin, dari Sabang hingga Merauke.

Partai sendiri harus pula membuat batas-batas baru, dalam pengertian yang mendalam, untuk menghasilkan pemimpin bangsa.

Kader partai demikian itu telah berkembang melampaui batas-batas lama, ke luar dari ukuran-ukuran sempit.

Hemat saya, keliru besar menghakimi mereka sebagai kader kos-kosan, kutu loncat, yang tidak setia, yang tidak etis secara politik.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.