Densus Tipikor

242

SETELAH mengundang kontroversi, Presiden Jokowi meminta pembentukan detasemen khusus (densus) pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor) dikaji lagi agar betul-betul matang di internal maupun eksternal Polri. Tegasnya, pembentukan densus tipikor ditunda. Sampai kapan? Tidak ada batas waktu.

Keputusan Presiden itu kiranya menghentikan banyak tanda tanya perihal maksud dan tujuan pembentukan densus tipikor. Pertama, gagasan pembentukannya muncul di tengah hiruk pikuk kerja Pansus Angket KPK yang dibentuk DPR. Itulah kerja parlemen yang ditengarai publik berkeinginan melemahkan KPK.

Dalam suasana kebatinan publik macam itu, timbul pertanyaan untuk apa densus tipikor dibentuk? Tidakkah itu bagian dari siasat pansus angket untuk melemahkan KPK dengan cara memberi kekuatan/tambahan amunisi kepada Polri dengan cara membentuk densus tipikor?

Pertanyaan itu tidak baik buat Polri, bercuriga seakan Polri dapat ‘disiasati’. Yang jelas Kapolri Tito Karnavian sedikit atau banyak repot menjawab perihal densus tipikor. Agar tidak menambah kesimpangsiuran opini, ia tegas menolak menjawab pertanyaan ketika dicegat wartawan (doorstop interview).

Yang jelas pula, dalam perkara densus tipikor DPR terhindar dari ‘sasaran tembak’ pertanyaan publik. Masa kerja Pansus Angket KPK diperpanjang. Mereka terus menyebut diri menggali informasi lebih dalam. Pansus sepertinya berkurang kekuatan karena ditinggalkan partai yang sebelumnya mendukung pembentukan pansus.

Partai itu buang badan, menghindari penghakiman publik, yang sebetulnya malah memberi tanda bahwa niat semula partai itu memang miring terhadap KPK. Partai yang berniat mengoreksi KPK agar lebih baik tidak meninggalkan pansus. Kedua, kenapa ada pikiran membawa kejaksaan di bawah satu atap densus tipikor?

Pertanyaan ini menyangkut UU Kejaksaan, bahwa kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Pemisahan kekuasaan penyelidikan dan penyidikan di satu pihak, dan penuntutan di lain pihak, merupakan chek and balance.

Pengecualian diberikan undang-undang secara khusus kepada KPK, yang antara lain menjadikan dirinya superbodi. Menyatukan kepolisian dan kejaksaan dalam satu atap densus tipikor, yang tidak ada dasar hukumnya, terang menimbulkan pertanyaan. Tidakkah densus tipikor menjadi KPK versi lain, versi tandingan?

Dalam perspektif pemisahan kekuasaan itu, Jaksa Agung M Prasetyo tegas menyatakan kejaksaan menolak masuk ke densus tipikor. Potensi abuse of power di bawah satu atap kiranya hendak dihindari. Lagi pula kepolisian tidak lebih superior daripada kejaksaan dan sebaliknya.

Ketiga, mengapa anggaran densus tipikor amat besar dan begitu gampang bakal diberikan DPR? Densus tipikor seperti bukan lagi diskursus, melainkan program yang telah mendapat restu dalam politik anggaran negara. Ujuk-ujuk muncul anggaran, bukan karena force majeure, seyogianya menimbulkan pertanyaan, antara lain menyangkut keadilan.

Dengan anggaran Rp2,7 triliun, ICW, misalnya, mengatakan jangan anak tirikan kejaksaan. Menurut data ICW, kejaksaan tiga kali lebih banyak menangani kasus korupsi, kenapa malah kepolisian yang diberi anggaran lebih besar? Tentu saja orang dapat menyoal tidakkah anggaran itu lebih baik untuk memperkuat kejaksaan?

Kalau toh untuk Polri, kenapa tidak untuk menambah kekuatan Polri dalam melaksanakan fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelayanan kepada masyarakat? Begitu banyak pertanyaan kepublikan yang membuat densus tipikor memang lebih baik dipikir ulang; untuk apa buru-buru dilahirkan. Presiden membahasakannya agar dikaji lagi. Hemat saya, maaf, tidak perlu dipikirkan lagi.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.