Debat Ahok-Anies

263

DALAM debat terakhir yang diselenggarakan program Mata Najwa di Metro TV (27/3), Ahok berkata, “Saya enggak suka bohongin orang untuk pilkada.” Pernyataan itu merupakan penutup, yang dikaitkan dengan program Anies Baswedan, yang akan membangun rumah tanpa DP. Untuk seribu rumah diperlukan 350 triliun rupiah. Program Anies itu banyak mendapat kritik, tetapi tetap ia canangkan. Kenapa? Anies mungkin berpandangan, yang namanya kampanye, boleh saja menjual program seideal mungkin. Soal terwujud atau tidak, urusan kelak setelah terpilih menjadi gubernur.

Yang jelas, dalam debat itu, orang menilai bahwa Ahok lebih memaparkan program, sedangkan Anies Baswedan lebih menyerang Ahok. Sedemikian tajam serangan itu sehingga ngawur.
Contohnya, atas pertanyaan Najwa Shihab, bahwa Ahok berani memecat anak buah, apakah Anies berani memecat anak buah, meluncurlah jawaban Anies yang sepertinya gagah berani, padahal ngawur. Kata Anies, tidak mungkin dia tidak berani pecat anak buah. Sekarang saja dia sedang berusaha memecat Pak Basuki jadi gubernur. Dari mana jalannya calon gubernur bisa memecat gubernur?

Kata Ahok, warga DKI Jakarta yang berhak memecatnya. Lagi pula, masa jabatan Ahok sebagai gubernur Jakarta hingga Oktober 2017. Kengawuran jawaban Anies Baswedan itu menuai reaksi berupa meme yang berseliweran di media sosial. Isinya, menampilkan gambar Presiden Jokowi, disertai ucapan, “Yang pecat kamu kan saya, kok dendamnya ke Basuki.” Meme lainnya berbunyi, “Hus… Anies belom pernah pecat orang, tetapi pernah dipecat.” Bahwa Anies pernah dipecat Presiden Jokowi dari jabatan menteri pendidikan, fakta yang tak terbantahkan. Namun, gencarnya serangan Anies terhadap Ahok, bukan adu program, membuat orang yang semula tak bisa menerima kenapa Anies dipecat sebagai menteri, berubah menjadi sangat paham.

Dalam debat itu publik tak menemukan cerdasnya kecendekiawanan. Apalagi, kearifan mantan seorang menteri pendidikan. Debat publik mestinya mengandung keadaban publik. Forum yang mencerdaskan. Publik yang mengikutinya mendapatkan pemahaman yang lebih sehingga warga yang punya hak pilih, tahu benar kenapa memilih sang calon. Debat publik yang diperkenalkan di zaman demokrasi Athena sesungguhnya mengandung sejumlah syarat. Di antaranya, dalam debat orang berargumentasi dengan logika yang kuat, fakta yang akurat, kaya program, sehingga publik tahu ke mana pemerintahan akan dibawa.

Akan tetapi, tak kalah penting ialah publik dapat membaca karakter orang yang bakal dipilih, terutama kejujurannya. Salah satu soal besar pemimpin bangsa ini bukan kepintarannya, melainkan kejujurannya. Dalam debat publik kiranya juga terbaca orang yang mengagungkan egonya ketimbang tekat memajukan kehidupan kepublikan. Termasuk ‘terasakannya’ hal-hal yang disembunyikan di balik tutur kata yang santun dan teratur. Bahasa tubuh menunjukkannya. Tak ada pilkada seheboh dan seseram pilkada Jakarta.

Untuk memilih yang terbaik, publik masih patut berharap ada debat Ahok-Anies yang berkeadaban dan mencerahkan. Kemudian, pertarungan pilkada diakhiri dengan spontanitas, bahwa setelah hitung cepat, seusai pencoblosan, calon gubernur yang kalah mengucapkan selamat kepada yang menang. Selebihnya tinggal sejarah yang membuktikan, apakah warga Jakarta salah pilih atau tidak. Yang jelas, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian, lima tahun tiada berguna.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.