Kenyang Berkuasa

298

ORANG berkuasa sebaiknya mengikuti nasihat berhentilah makan sebelum kenyang.

Pertanyaannya kapankah orang merasa kenyang berkuasa?

Batas kenyang berkuasa mengusik saya ketika Senin (4/5) malam melayat mendiang Chris Siner Key Timu, penanda tangan Petisi 50, yang disemayamkan di Sekretariat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia di Menteng, Jakarta.

Petisi itu lahir di kala yang berkuasa merasa sedang lapar-laparnya, padahal di mata oposisi seharusnya sudah kenyang berkuasa.

Petisi 50 merupakan oposisi gigih dan berani terhadap hegemoni kekuasaan Pak Harto yang sewenang-wenang menggunakan Pancasila sebagai alat menggebuk lawan politik.

Petisi itu mestinya dibaca sebagai peringatan dini kepada Pak Harto bahwa ‘saatnya berhenti makan sebelum kenyang’.

Kenyataannya Petisi 50 bukan dipandang sebagai ‘alarm’, melainkan subversi.

Petisi 50 ditandatangani pada 1980.

Pak Harto mulai berkuasa 1966.

Itu berarti ia telah berkuasa 14 tahun. Bukankah berkuasa cukup 10 tahun? Masih kurang kenyang, SU MPR berikutnya 1983.

Itulah mestinya batas kenyang kekuasaan paling lama, yaitu 17 tahun sejak Pak Harto mendapat Supersemar.

Lebih dari kenyang.

Kenyataannya Pak Harto tak pernah kenyang berkuasa.

Mengapa?

Pertama, ia memerlukan waktu panjang untuk mengonsolidasikan kekuasaan (1966-1978).

Di masa itu terjadi gangguan hebat Peristiwa Malari (1974) serta pemaksaan fusi partai berasas tunggal Pancasila.

Akibat Malari, pers diberedel dan hanya terbit kembali setelah menandatangani pernyataan ‘bertobat’.

Kedua, setelah konsolidasi Pak Harto masih memerlukan waktu untuk mengukuhkan kekuasaan (1978-1983).

Di masa itu pun terjadi gangguan hebat berupa gerakan mahasiswa menurunkan Pak Harto (1978), oposisi terbuka Petisi 50 (1980), dan pecahnya Peristiwa Lapangan Banteng (1982) yang juga menyebabkan pers diberedel.

Ketiga, tak kalah penting, Pak Harto masih pula memerlukan waktu panjang sekali (1983-seyogianya sampai 2003) untuk menikmati kekuasaan tanpa gangguan.

Ia dianugerahi pangkat kehormatan jenderal besar–perwira tinggi berbintang lima–(1997) dan mengangkat anak kandungnya, Mbak Tutut, sebagai menteri sosial (1998).

Ia lupa berhenti makan sebelum kenyang, kendati telah kekenyangan, sampai kemudian dijatuhkan dari kekuasaannya (1998).

Ia tak kesampaian berkuasa hingga 2003. Gelar Bapak Pembangunan berubah menjadi bapak yang dihujat.

Setelah perubahan konstitusi di era demokrasi, tak ada lagi presiden berkuasa lebih dari 10 tahun.

Semua harus siap lengser.

Bahkan, petahana harus bersiap berhenti makan sebelum kenyang setahun sebelum pilpres karena belum tentu terpilih lagi.

Pada dasarnya presiden harus bersiap satu masa jabatan saja.

Psikologi kekuasaan jenis itu positif ‘memaksa’ presiden cepat melakukan konsolidasi dan menghasilkan kinerja bersama menteri yang juga belajar cepat dan segera keluar dari kungkungan ‘asyik dengan mainan sendiri’.

Lima tahun bukan waktu panjang melakukan coba dan salah memilih menteri, berfoya-foya gonta-ganti susunan kabinet.

Sekali reshuffle lebih dari cukup.

Apalagi secara administrasi negara, nomenklatur lembaga kementeriannya pun belum beres.

Yang jelas pemerintahan baru, yang didukung relawan, dilarang keras berpikir kapan kekuasaan kenyang, terlebih kenyang berkuasa.

Apalagi kalau relawan pun ingin pula ikut kenyang.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.