Alasan Kelahiran

265

RASANYA kian perlu mengingat kembali alasan kelahiran
(raison d’etre) sejumlah lembaga. Sebab semakin kuat tanda-tanda hendak
melupakannya. Contohnya, mengapa lahir mahkamah partai? Apa alasan
kelahiran KPK? Tak kalah penting mengapa lahir Badan Kehormatan DPR yang
kini menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan?

Belum lama KPK menolak usulan Komisi III DPR agar KPK
memiliki komite etik permanen. Penolakan beralasan. Komite etik
permanen mengasumsikan ada dugaan pelanggaran permanen. Padahal, alasan
kelahiran KPK menjadi sapu yang bersih. Jika pohon busuk, mengapa hutan
yang disalahkan.

Contoh lain, dulu undang-undang mengatur, bila gagal
bermusyawarah bermufakat, sengketa kepengurusan partai dibawa ke
pengadilan negeri.

Tak ada lembaga naik banding. Yang ada langsung
kasasi ke MA. Perkara diselesaikan oleh PN paling lama 60 hari dan oleh
MA 30 hari. Jadi, dalam tempo paling lama 90 hari sengketa kepengurusan
ganda selesai. Pikiran itu dianut UU No 31/2002 tentang Partai Politik
dan dipertahankan dalam UU No 2/2008 tentang Partai Politik.

Tiga tahun kemudian pembuat undang-undang berubah
pikiran. Sengketa kepengurusan partai bukan lagi domain kehakiman,
melainkan internal partai. Untuk itu lahir mahkamah partai yang harus
menyelesaikan perkara 60 hari dan diberi kewenangan meniru MK, yaitu
keputusannya final dan mengikat. Perubahan pikiran itu terjadi dalam UU
No 2/2011 tentang Partai Politik.

Perubahan itu mengandung kearifan. Pengadilan tidak
menjadi keranjang sampah pertikaian elite. Partai menyelesaikan masalah
di mahkamah partai yang keputusannya eksplisit bermakna tunggal, tanpa
keraguan, tak remang-remang, dari sudut mana pun orang membacanya.

Apa yang kini terjadi? Semua alasan itu sia-sia.
Undang-undangnya masih berlaku, tetapi penyelesaian sengketa pengurus
ganda kembali ke pengadilan. KPU pun memilih jalan aman, yaitu hanya ada
dua opsi, pengurus ganda islah atau menunggu putusan hukum tetap (in
kracht).

Namun, MA menolak adanya tenggat karena tidak ingin
campur dalam proses di pengadilan di bawahnya. Lagi pula kepastian
penyelesaian perkara (30 hari di MA) kehilangan dasar hukum dengan
diubahnya UU No 2/2008 oleh UU No 2/ 2011 tentang Partai Politik yang
melimpahkan kewenangan kepada mahkamah partai.

Contoh lain menyangkut kelahiran Badan Kehormatan
DPR. Tidak ada alasan kecuali fakta banyak wakil rakyat terhormat yang
tidak terhormat. Karena itu perlu Badan Kehormatan DPR. Alasannya
seperti dalam UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) tetap
dipertahankan dalam UU No 17/2014, tetapi namanya menjadi Mahkamah
Kehormatan Dewan.

Tak hanya itu. Dalam undang-undang itu, lembaga
penjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR berubah
menjadi pelindung. Penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana jika sebelumnya harus mendapat persetujuan tertulis
presiden berubah harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan.

Demikianlah kelakuan de facto hendak di lindungi
dengan melupakan alasan kelahiran. Menyangkut banyak lembaga yang
terjadi kayaknya terus melihat ke luar dan lupa melihat ke dalam. Itulah
pula yang terjadi antara Polri dan anak kandungnya, Novel Baswedan,
yang ditugaskan menjadi penyidik dan kemudian menjadi anak emas KPK,
tetapi kini seperti anak lahir di luar nikah.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.