Nasihat Iwan J Azis

325

DALAM menghadapi melambannya ekonomi, ada tiga ‘nasihat’ Profesor Iwan Jaya Azis.

Tiga nasihat itu terdiri atas dua faktor internal dan satu eksternal. Jangan salah paham, sayalah yang menyebutnya ‘nasihat’, bukan sang profesor ekonomi Cornell University, itu.

Nasihat, bukan pendapat, sebab lebih untuk didengarkan, bukan diperdebatkan.

Iwan Jaya Azis berbicara dalam seminar Mendalami Krisis Global & Kebijakan Ekonomi Nasional di Jakarta, 20 Oktober lalu.

Katanya, sebagaimana terbaca dalam makalahnya, untuk faktor internal, jangan terbuai dengan ‘fundamen baik’.

Mengapa? Karena pengertiannya berubah.

Perilaku sektor keuangan bisa membalik keadaan secara mendadak di tengah keterkaitan antarnegara yang makin besar dan kompleks.

Di hampir semua episode krisis, menurut Iwan Jaya Azis, pernyataan kondisi ‘fundamen baik’ sering tidak sesuai dengan kenyataan karena indikator yang berubah.

Seperti diketahui, pengambil kebijakan gemar mengatakan fundamen ekonomi baik.

Melambannya perekonomian, memburuknya nilai tukar rupiah, lebih disebabkan faktor eksternal.

Nasihat kedua mengenai faktor nonfundamental, khususnya kepercayaan pasar dan masyarakat.

Faktor itu sulit dikelola, tapi mudah dibuat negatif.

Mengapa?

Karena informasi makin banyak dan cepat penyebarannya, sedangkan masyarakat makin mengerti.

Nasihatnya, hindari penyampaian informasi yang tak sesuai kenyataan, tidak jelas, kontradiktif, dan bertentangan antarpembuat kebijakan.

Nasihat itu sangat pas.

Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli bertentangan dengan Wakil Presiden Jufuf Kalla mengenai proyek listrik 35 ribu Mw.

Silang pendapat antarpengambil kebijakan juga terjadi menyangkut impor beras.

Nasihat ketiga, faktor eksternal, agar proaktif memengaruhi aturan tentang hubungan dan kerja sama ekonomi global/regional.

Hemat saya, dalam perkara itu, jangan-jangan kita bukan saja tidak proaktif, melainkan juga tak sensitif dengan perkembangan mutakhir.

Contoh, tak banyak menarik perhatian di dalam negeri, sebuah pakta baru perdagangan internasional akhirnya disepakati awal bulan ini di Atlanta, AS.

Pakta itu diklaim sebagai terobosan perdagangan internasional abad ke-21, yang harus diwaspadai dampaknya di kawasan Pasifik.

Pakta bernama Trans-Pacific Partnership itu melibatkan 12 negara di Asia dan Amerika berpenduduk total 800 juta, menguasai 40% ekonomi dunia dengan total GDP US$30 triliun.

Pakta itu berisi kesepakatan mengurangi atau menghilangkan tarif 18 ribu kategori barang di 12 negara, yakni Kanada, Meksiko, Brunei, Selandia Baru, AS, Peru, Malaysia, Australia, Cile, Singapura, Jepang, dan Vietnam.

Pakta itu baru dapat disepakati melalui perundingan sangat alot, 32 kali negosiasi dalam 5 tahun.

Apa manfaatnya?

Bagi AS, melalui pakta itu, mereka terus memperkuat dominasi di Asia Pasifik, khususnya untuk menyeimbangkan meningkatnya pengaruh Tiongkok di Asia Timur.

Vietnam, negara eksportir berbasiskan upah buruh murah, diestimasikan bakal meraih keuntungan ekonomi terbesar dari pengurangan dan penghapusan 18 ribu tarif.

Pada 2025, pakta TPP itu diperkirakan berpengaruh 10% terhadap ekonomi Vietnam. Terhadap ekonomi Malaysia berdampak 5,5%.

Tak mengherankan, sembilan hari setelah TPP disepakati, Presiden Filipina Benigno Aquino langsung menyatakan minat bergabung.

Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Semoga nasihat Prof Iwan didengarkan pembuat kebijakan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.