Sulap

234

PRESIDEN Jokowi dicandrakan seperti pemain sulap. Simsalabim, dalam setahun, semua berubah menjadi indah.

Apakah perlakuan seperti itu hanya menimpa Presiden Jokowi?

Jawabnya tidak.

Umumnya presiden, siapa pun dia, dalam setahun memerintah dituntut membuat perubahan dalam tempo cepat, sangat cepat. Bak pemain sulap. Bahkan, lebih dini lagi, baru seratus hari berkuasa, kinerja presiden telah ramai dievaluasi dan dihakimi.

Demikianlah, sesungguhnya tak ada yang baru dalam perkara itu. Presiden selalu dituntut memproduksi hal-hal yang
tidak biasa di mata publik karena memang seorang presiden dipersepsikan
bukan manusia biasa.

Berbagai elite negara memiliki berbagai privilese, termasuk presiden. Namun, hanya presiden seorang yang memiliki hak prerogatif. Ia memiliki kekuasaan dan amunisi lebih dari cukup untuk membuat perubahan cepat, sangat cepat. Lagi pula, sudah lama bangsa ini terjangkiti hasil serbainstan.

Negeri ini, bukan hanya penghasil dan pelahap mi instan, melainkan juga telah terasuk nilai-nilai serbainstan.

Kalau ada jalan pintas, mengapa berjalan jauh?

Memintas berbeda dengan menerabas. Yang terjadi dan berkembang ialah memintas dengan cara menerabas.

Mentalitas menerabas bukan tumbuh kemarin sore. Mentalitas seperti itu, menurut pakar antropologi mendiang Prof Koentjaraningrat, telah bersemi sejak zaman penjajahan Jepang.

Contoh, tak usah heran bila yang tersemai kekayaan instan, hasil korupsi. Akan tetapi, siapa bisa membangun infrastruktur dalam setahun?

Siapa pula bisa membuat negara ini berswasembada beras dalam setahun, terlebih di tengah kemarau panjang?

Semua pertanyaan itu jelas mengandung excused.

Sebuah pembelaan, memang, tetapi tiada berniat
melenyapkan fakta ihwal membuncahnya harapan publik bahwa presiden harus
bekerja cepat, supercepat.

Sejujurnya, itulah ekspektasi publik. Padahal, semakin tinggi harapan, semakin tinggi pula potensi kecewa. Namun, hasil survei terhadap Jokowi masih positif.

Dari total 1.220 responden yang disurvei Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC) mengenai 1 tahun kinerja Presiden
Jokowi selama 7-13 Oktober 2015 menunjukkan sebanyak 52% menyatakan puas
dengan kinerja Jokowi dan pemerintahannya.

Bukan penilaian yang membuat hati berbunga-bunga. Namun, tidak pula membuat hati luluh lantak.

Karena itu, dapatlah dipahami 62% responden hasil
survei yang sama menyatakan keyakinannya atas kemampuan Jokowi memimpin
pemerintahan.

Keyakinan, pada 20 Oktober 2019, ketika masa jabatan
Jokowi berakhir, kiranya rakyat bergembira karena tidak salah memilih
presiden.

Yang dipilih memang bukan tukang sulap, melainkan
sejatinya seorang presiden, yang tidak membiarkan negara dikendalikan
autopilot.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.