Rekayasa Konstitusional Pemilu Presiden

0 23

MAHKAMAH Konstitusi mengambil putusan cemerlang, memperkuat demokrasi dengan memulihkan makna kedaulatan rakyat.

Pertama, MK mencabut ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden. Rezim ambang batas bertentangan dengan konstitusi. Semua partai peserta pemilu berhak mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Kedua, MK melarang terjadinya dominasi partai/gabungan partai peserta pemilu dalam pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden.

Itulah antara lain pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional. Rekayasa konstitusional itu kiranya perlu dipilah dalam dua kelompok partai peserta pemilu, yaitu kelompok partai parlemen dan kelompok partai peserta pemilu nonparlemen. Pemilahan itu, untuk Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, tentu setelah pembentuk undang-undang mengubah ambang batas parlemen sesuai Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023.

Partai atau gabungan partai parlemen harus diatur, selain agar tidak terjadi dominasi pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden, juga jangan sampai terjadi presiden lemah di DPR. Tak kalah penting, DPR efektif menunaikan checks and balances.

Pertanyaan pertama harus dijawab: apa ukuran dominan? Seberapa besar partai atau gabungan partai peserta pemilu disebut dominan?

Hemat saya, jawabnya antara lain mesti dicari dan ditemukan berupa angka yang ‘sangat bermakna’ di dalam konstitusi. Angka itu ialah angka 2/3. Inilah angka yang dipakai untuk mengajukan permintaan pemakzulan presiden kepada MK. DPR hanya dapat melakukannya bila didukung sekurang-sekurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-sekurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

Angka ini juga sangat bermakna bagi pengambilan keputusan MPR. Usul pemberhentian presiden harus diambil dalam Rapat Paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Dominan mengandung pengertian ‘sebanyak-banyaknya’, bukan ‘sekurang-kurangnya’. Agar tidak terjadi dominasi, jumlahnya harus lebih kecil daripada yang ‘sebanyak-banyaknya’. Berdasarkan angka di dalam konstitusi untuk memberhentikan presiden tersebut, dapatlah kiranya dipikirkan, agar tidak terjadi dominasi pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden, jumlah partai parlemen ‘tidak boleh mencapai’ 2/3 atau ‘harus kurang dari’ 2/3 dari jumlah partai di DPR. Berapa persisnya?

Alternatif 1, kiranya boleh dipertimbangkan ‘batas atas’, yaitu sebanyak-banyaknya 50% dari jumlah partai di DPR ditambah satu partai di DPR. Bila BA = batas atas, dan n = jumlah partai di parlemen, maka rumusnya: BA = {(50% x n) + 1}.

Dari mana angka itu berasal? Dipetik dari perbendaharaan angka di dalam peraturan perundang-undangan Pilkada Jakarta–sebagai inspirasi. Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. ‘Lebih dari 50%’ itu ‘cukup lebih 1 suara’ saja, yang di dalam konteks tulisan ini, ‘1 partai saja’.

Alternatif 2, mengubah dulu angka 2/3 berupa persentase menjadi 66,66% (dibulatkan 67%), maka agar tidak terjadi dominasi, dapat dipertimbangkan ‘batas atas’ menjadi sebanyak-banyaknya 67% dari jumlah partai di DPR dikurangi 1 partai di DPR. Rumusnya: BA = {(67% x n) – 1}.

Berapa pula ‘batas bawah’? Jumlah minimal partai atau gabungan partai di DPR dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden ialah sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah partai di DPR.

Oleh karena metode dan argumen yang digunakan berdasarkan standar angka yang dipakai di dalam konstitusi, kiranya angka ‘batas atas’ dan ‘batas bawah’ yang dihasilkan dapat diterima rasionalitasnya.

Partai di DPR yang telah ‘diikat’ dengan ‘batas atas’ atau ‘batas bawah’, bebas berkoalisi dengan partai peserta pemilu yang berada di luar DPR. Bebas, karena koalisi itu tidak berpengaruh terhadap kekuatan partai atau koalisi partai di DPR.

Yang perlu diatur, berapa banyak partai atau gabungan partai peserta pemilu nonparlemen boleh mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden? Apakah setiap partai peserta pemilu nonparlemen boleh bebas sendiri mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden? Ini tidak boleh, sebab tidak adil terhadap partai parlemen yang jumlahnya diatur, antara lain berupa ‘batas bawah’ untuk syarat kecukupan minimal, dan ‘batas atas’ agar tidak terjadi dominasi dalam pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden.

Kiranya masuk logika bila ‘batas bawah’ yang sama diterapkan bagi partai perserta pemilu nonparlemen, yaitu sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah partai peserta pemilu nonparlemen untuk dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

Bagaimana dengan ‘batas atas’? Hemat saya, tak perlu diatur. Bahkan, bila semua partai nonparlemen bergabung mencalonkan satu pasangan presiden dan wakil presiden yang sama, kiranya hal itu baik bagi demokrasi.

Persoalan muncul bila jumlah partai peserta pemilu nonparlemen hanya satu, atau dua partai, alias tak sampai tiga partai. Sebuah jumlah, bila dikenakan faktor angka 1/3, tak dapat menghasilkan kecukupan syarat ‘batas bawah’ untuk mencalonkan satu pasang presiden dan wakil presiden.

Apakah perlu diatur? Rasanya tak perlu. Ketentuan MK bahwa partai peserta pemilu harus mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden untuk bisa menjadi peserta pada pemilu berikutnya, dengan sendirinya, memberi semacam ‘reward and punishment‘ atas putusan politik yang diambil partai yang bersangkutan. Tinggal pilih ‘wortel’ atau ‘tongkat’.

Pendapat di atas pikiran seorang jurnalis yang bergembira menyambut putusan MK dan tergelitik menyumbang gagasan. Tentu diperlukan naskah akademik, di dalamnya termuat pula telaah pakar matematika/statistika tentang kuantifikasi batas dominan, agar pembentuk undang-undang pemilu memiliki pijakan amat kuat dalam memaknai dan menerapkan pengertian ‘rekasaya konstitusional’.

Tak kalah penting DPR taat asas, membuka diri di ruang publik, mendengar masukan, serta menaruh hormat atas hasil uji publik terhadap draf RUU. Jangan lagi ‘diam-diam’ menggodoknya, dan tiba-tiba pleno, undang-undang disahkan. Berhentilah main ‘petak umpet’ sama rakyat.

Leave A Reply

Your email address will not be published.