Cepat Bulukan

261

DEWAN Perwakilan Rakyat ialah dewan berpikir jangka pendek.

Bahkan, bangga menghasilkan produk pemikiran jangka pendek.

Kesimpulan itu diambil berdasarkan pendeknya umur Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah.

Pekan lalu, DPR mengesahkan Undang-Undang Pilkada yang baru. Kenapa yang lama perlu diubah?

Apakah karena undang-undang yang lama telah ketinggalan zaman, bulukan, tak lagi sesuai dengan aspirasi rakyat?

Pertanyaan itu pasti pertanyaan yang salah karena baru 6 bulan lalu, tepatnya 9 Desember 2015, bangsa ini pertama kali menyelenggarakan pilkada serentak yang berjalan lancar, aman, dan meriah di tingkat warga.

Warga tidak terganggu melaksanakan hak konstitusional mereka, sekalipun dua partai senior, Golkar dan PPP, tersandera perpecahan pimpinan di tingkat pusat.

Apa urusan warga dengan kericuhan elitis?

Berdasarkan pengalaman pilkada serentak 2015 tersebut, faktual tidak cukup alasan, bahkan tidak ada alasan bagi DPR mengubah Undang-Undang Pilkada (UU No 8 Tahun 2015).

Bahkan, sebaliknya, di saat DPR dengan pikirannya yang pendek itu tengah memikirkan mengubah Undang-Undang Pilkada, dinamika berpilkada serentak terus bergulir.

Buktinya, banyak calon kepala daerah yang bakal mengikuti pilkada serentak 2017 berbenah diri agar bila disurvei hasilnya menunjukkan elektabilitas dirinya layak diusung partai mana pun.

Dinamika berpilkada serentak 2017 itu kian menggeliat setelah Komisi Pemilihan Umum pada 15 Februari 2016 menetapkan dan mengumumkan bahwa pelaksanaan pilkada serentak gelombang kedua di selenggarakan pada 15 Februari 2017.

Berdasarkan Undang-Undang Pilkada yang masih berlaku, KPU mendesain jadwal sehingga tersedia setahun persis untuk mempersiapkan diri agar pilkada serentak 2017 yang diikuti 101 daerah berjalan aman, lancar, meriah, seperti halnya pilkada serentak 2015.

Akan tetapi, DPR, sebagai lembaga legislatif, tidak bahagia hidupnya kalau tidak membuat perubahan undang-undang yang menyangkut kontestasi dan kompetisi politik merebut suara rakyat.

Hasil kontestasi dan kompetisi politik yang semakin sengit itulah menentukan peta kekuatan politik.

Tak hanya kekuatan di DPR (baik anggota sebagai person maupun partainya) sebagai hasil pileg, yang bukan mustahil suaranya kempis dicekik rakyat, tetapi juga partai berkemungkinan kehilangan posisi kepala daerah karena dalam pilkada kadernya ditumbangkan calon perseorangan.

Sikap dan karakter kepemimpinan Ahok serta fenomena bergeraknya relawan mengusung dirinya sebagai calon perseorangan dalam pilkada DKI kelak, kiranya menjadi sumber inspirasi bahkan sebuah model yang menarik dikloning.

Hal itu mengkhawatirkan partai-partai mapan yang keenakan di zona nyaman.

Diperbolehkannya calon perseorangan bukan keputusan DPR, melainkan putusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review.

Demikian pula halnya anggota DPR harus mengundurkan diri bila dicalonkan menjadi kepala daerah, membuat partai dan anggota DPR merasa kalah sakti dibanding orang di pinggir jalan yang diusung perseorangan.

Karena itu, Undang-Undang Pilkada harus diubah dengan tujuan untuk mempersulit calon perseorangan.

Tak hanya itu. Undang-Undang Pilkada yang baru bahkan memangkas kemandirian KPU. Semua itu pikiran kerdil, picik.

Pikiran kerdil menghasilkan undang-undang politik yang kerdil pula, undang-undang jangka pendek.

Setelah undang-undang pilkada, tunggu giliran saja undang-undang pemilu dipermak.

Dalam pikiran yang pendek itu undang-undang politik juga dipandang sama dengan celana jin yang cepat bulukan.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.