Kancah Pertarungan Terakhir

347

INI berita gembira. Sekalipun berita bohong tentang Jokowi gencar diproduksi dan disebarluaskan, kebanyakan rakyat tidak percaya. Rakyat umumnya waras, sehat pikirannya.

Kewarasan rakyat itu temuan survei Saiful Mujani Research Consulting (SMRC). Warga umumnya skeptis, tidak percaya begitu saja informasi negatif bahwa Jokowi komunis, anti-Islam, kaki tangan RRC.

Hasil survei nasional dengan 2.820 responden yang dilakukan SMRC pada Februari-Maret dengan margin of error 2% menunjukkan hanya 6% warga yang percaya Jokowi terkait dengan PKI, selebihnya 73% menyatakan tidak percaya. Hanya 6% warga yang percaya bahwa Jokowi anti-Islam, selebihnya 76% menyatakan tidak percaya. Hanya 10% warga yang percaya Jokowi kaki tangan RRC, selebihnya 69% menyatakan tidak percaya.

Ketidakpercayaan warga akan berita bohong yang menimpa Jokowi itu diperkuat sebanyak 71% responden mengaku sangat atau cukup puas dengan kinerja Presiden Jokowi. Sebanyak 66% warga percaya Jokowi mampu memimpin bangsa. Dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf mencapai 57,6%, sedangkan dukungan kepada Prabowo-Sandiaga hanya 31,8%.

Itu berarti terbentang jarak yang cukup lebar, yaitu 25,8%. Apa artinya? Bila pilpres dilakukan pertengahan Maret ini, hampir dipastikan Jokowi terpilih kembali menjadi presiden.

Pilpres 2019 masih 26 hari lagi. Bukan rentang waktu yang lama. Sebentar lagi kita sebagai anak bangsa yang punya hak pilih, yang merdeka dan berhati nurani masuk ke kompetisi pemilihan presiden yang lebih sengit jika dibanding dengan Pilpres 2014. Lebih sengit sekalipun capres yang hendak dipilih rakyat sama, Jokowi atau Prabowo. Kenapa lebih sengit?

Saya tidak jemu berulang mengatakan bahwa Pilpres 2019 merupakan babak akhir bagi banyak tokoh nasional. Selesai sudah impian untuk menjadi presiden bagi Amien Rais, Akbar Tandjung, dan Wiranto. Mereka tokoh yang pernah menjadi capres dan kalah. Selesai pula bagi Megawati atau SBY untuk menjadi presiden lagi. Megawati telah legowo yang diperlihatkan dengan mengusung dan mendukung Jokowi, sedangkan SBY tidak diperkenankan konstitusi untuk menjadi presiden ketiga kali.

Pilpres 2019 juga merupakan pilpres yang terakhir bagi Jokowi bila dia terpilih kembali. Sama persis dengan yang dialami SBY, konstitusi melarangnya menjadi presiden tiga kali.

Bagaimana dengan Prabowo? Saya pikir Pilpres 2019 ini pun pilpres terakhir baginya. Bila dia kembali kalah, itu berarti kegagalan pilpres yang ketiga kali bagi dirinya, yaitu sekali kalah sebagai cawapres, dua kali kalah sebagai capres. Dengan penuh hormat kepadanya, saya rasa Prabowo pun sampai pada batas untuk legowo.

Demikianlah Pilpres 2019 dapat dicandrakan sebagai kancah pertarungan terakhir bagi banyak elite, baik untuk dirinya sebagai (calon) kandidat maupun sebagai king maker. Berkali-kali kalah dalam pilpres, baik bagi diri sendiri maupun sebagai king maker kiranya dapat membuat orang legowo, tapi sebaliknya juga dapat membuat orang penasaran sehebat-hebatnya sehingga muncullah gairah untuk menang dengan segala cara, termasuk dengan cara-cara jorok, antara lain menjatuhkan kepercayaan rakyat kepada Jokowi dengan cara memproduksi dan menyebarluaskan berita bohong.

Sekalipun kebanyakan rakyat tidak percaya berita bohong kiranya kepolisian harus terus berupaya membawa si pembuat dan penyebar berita bohong itu ke muka hukum. Hal itu perlu dan penting dilakukan agar pembuat dan penyebar berita bohong kapok dan mencegah munculnya pembohong-pembohong baru. Kejahatan dalam pikiran macam itu selain harus dilawan dengan pikiran waras dan kritis juga perlu dilawan dengan tindakan nyata membawa pelakunya ke dalam penjara.

Demokrasi kiranya sistem terbaik bagi hadirnya kebajikan dan kearifan. Dua kualitas itu tidak mungkin hadir di dalam sistem otoriter, apalagi totaliter. Akan tetapi, demokrasi juga membuka peluang bagi hadirnya para pengkhianat demokrasi yang terselubung dalam kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat.

Hemat saya kita tidak boleh beranggapan bahwa demokrasi mampu menghabisi kejahatan pikiran orang-orang sebagai personal atau orang-orang sebagai kelompok yang ingin menang dengan cara-cara gelap dan hitam. Terlebih yang gelap dan hitam itu kini mudah diproduksi dan disebarkan melalui media sosial. Namun, yang waras dan lurus serta bersih pikirannya kiranya boleh lega karena hanya 6%-10% yang percaya  berita bohong.

Tentu saja angka 6%-10% yang percaya berita bohong tentang Jokowi masih jumlah yang cukup besar. Karena itu kata ‘hanya’ tidak bijak misalnya dilekatkan dalam pernyataan bahwa ‘hanya 6% warga yang percaya Jokowi komunis.’ Jumlah itu harus dikikis sebanyak mungkin, sehabis-habisnya demi tegaknya kebenaran yang sejati bahwa Jokowi memang absolut bukan komunis.

Tidak ada orang yang sempurna. Pilpres ialah forum rakyat untuk memilih pemimpin yang paling sedikit kekurangannya, tetapi yang paling banyak maslahatnya bagi bangsa dan negara. Bagi saya jelas Jokowi jawabannya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.