Memilih sebagai Kewajiban

297

DI negeri ini menggunakan hak pilih bukan kewajiban. Warga negara bebas menggunakan hak pilih, bebas pula tidak menggunakan hak pilih.

Yang berlaku postulat menggunakan hak pilih ialah hak, tidak menggunakan hak pilih ialah juga hak. Maka tidak datang ke TPS, duduk-duduk, atau tidur-tidur di rumah di hari pemilihan umum merupakan perkara yang sah.

Apakah anak bangsa yang tidak menggunakan hak pilihnya itu tergolong warga negara yang cuek atau tidak bertanggung jawab? Dalam satu perjalanan naik taksi di Kota Jakarta, saya berdialog dengan sang sopir yang ketika itu mengatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya. Kenapa? Di matanya tidak ada capres yang bagus. Saya bilang, karena tidak ikut menentukan jalannya negara, bapak tidak patut gembira kalau negara kian bertambah baik, sebaliknya tidak patut ikut susah kalau negara mengalami kesulitan. Saya berterus terang memilih Jokowi, dan saya berharap dia datang ke TPS.

Dalam perspektif yang optimistis percakapan dua bulan lalu itu merupakan percakapan dengan seorang warga negara yang ‘belum’ menentukan pilihannya, bukan orang yang ‘tidak akan’ datang ke TPS. Sopir taksi itu tidak sendirian.

Jumlah pemilih mengambang itu cukup banyak, bervariasi dari waktu ke waktu, dari satu lembaga survei ke lembaga survei lainnya. Temuan survei yang dilakukan Indikator, pemilih yang belum menentukan pilihan cenderung menurun dari 17,0% pada Oktober 2018 menjadi 9,2% pada Desember 2018. Cukup besar berkurang 7,8%. Namun, menurut Indikator secara statistik dinamika dalam tiga bulan terakhir itu tidak signifikan.

Survei nasional Charta Politika menghasilkan temuan pemilih yang belum menentukan pilihan sebanyak 12,8%. Survei dilakukan 22 Desember-2 Januari 2019, temuannya dirilis 16 Januari 2019.

Survei Saiful Mujani Research & Consulting menemukan kenyataan jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan berfluktuasi, yaitu 9,8% pada September 2018, sedikit naik menjadi 10,5% pada Desember 2018, naik lagi menjadi 13,0% pada Januari 2019, lalu turun menjadi 10,6% pada Februari 2019.

Berdasarkan semua temuan itu pemilih yang belum menentukan pilihan paling sedikit 9,2% dari jumlah pemilih yang pada Pemilu 2019 jumlahnya 192,8 juta. Itu berarti, sejauh ini sedikitnya ada 17,7 juta pemilih yang belum menentukan siapa pasangan presiden-wakil presiden pilihan mereka.

Jumlah itu tentu teramat banyak untuk dibiarkan tetap mengambang tidak tahu siapa yang akan mereka pilih untuk memimpin negara ini 5 tahun ke depan. Jumlah sebanyak itu rawan politik uang, juga rawan dimanipulasi hak mereka jika mereka tidak datang ke TPS. Terbukalah pula upaya untuk menjemput mereka ke TPS, yang kiranya merupakan mobilisasi untuk memilih pasangan capres-cawapres tertentu. Mobilisasi, bukan partisipasi yang kiranya dapat menyesatkan penilaian ketika data partisipasi palsu itu dipakai untuk menilik mutu demokrasi kita.

Masuk akal jika muncul pemikiran kenapa kita tidak mengubah pandangan kita dalam kehidupan bernegara bahwa menggunakan hak pilih merupakan kewajiban warga negara? Orang harus memilih, tidak memilih dihukum denda.

Negara yang menjadikan hak pilih sebagai kewajiban ialah Australia. Orang harus punya alasan yang cukup dan valid kenapa tidak memilih. Orang bisa didenda $20 bila tidak memilih. Bahkan, bila seseorang sedikitnya empat kali tidak menggunakan hak pilihnya, dia dapat kehilangan hak untuk memilih selama 10 tahun. Orang macam itu pun berkemungkinan mendapat kesulitan untuk bekerja di sektor kepublikan. Memilih sebagai kewajiban itu telah dimulai 1924.

Menurut AEC (Australian Electoral Commission) memilih merupakan a civic duty, sebuah tanggung jawab warga negara yang dapat diperbandingkan dengan kewajiban membayar pajak. Memilih sebagai kewajiban membuat parlemen merefleksikan lebih akurat keinginan pemilih secara keseluruhan.

Demokrasi kita sesungguhnya dan senyatanya dalam proses kerusakan yang serius. Memilih ialah hak yang bebas dipakai atau tidak, bukan kewajiban. Akan tetapi, inilah hak yang dapat dipakai karena jual beli suara. Politik uang bukan halusinasi, melainkan nyata dan parah.

Menjadikan memilih sebagai kewajiban yang dapat didenda bila mengabaikannya, kiranya dapat mengoreksi kejahatan politik uang dan praktik mobilisasi warga ke kotak suara.

Harapannya ialah hasil pemilu serentak bukan hanya DPR merefleksikan lebih akurat keinginan pemilih secara keseluruhan, melainkan juga presiden terpilih merefleksikan lebih akurat apa yang disebut sebagai will of the electorate.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.