Kuasa Mengikis Empati
KETIKA wakil rakyat berjoget di ruang sidang DPR, itulah ekspresi terkikisnya empati akan nasib rakyat yang daya belinya merosot, pengangguran bertambah, bahkan kelas menengah terpaksa makan tabungan. Dan, itu bukan satu-satunya bukti.
Bukti lain, bupati yang dipilih rakyat menaikkan pajak, menantang rakyat yang protes. Jangankan 5.000 warga berdemo, bahkan 50.000 pun akan diladeni. Lebih dari 100.000 rakyat marah. Bupati dituntut mundur dari jabatannya.
Yang terjadi di Senayan (Jakarta) dan di Pati (Jawa Tengah) itu paradoks (yang satu joget, yang satu lagi marah), tapi tersambungkan oleh terkikisnya empati terhadap nasib rakyat. Terkikisnya empati akan nasib rakyat itu diperkukuh oleh naiknya penghasilan anggota DPR RI yang tembus Rp230 juta per bulan. Jumlah itu 42 kali UMR Jakarta, 98 kali UMR Pati. Rakyat pun marah. Entah dari mana saja, Senin (25/8), warga berdatangan ke gedung DPR.
Mereka tak bisa masuk. Mereka dihadang polisi. Pagar gedung parlemen tak hanya terkunci. Dilumeri oli. “Ini gedung DPR atau bengkel?” tanya warganet via video.
Kiranya penting elite politik menimbang pendapat bahwa yang terjadi di Pati benih revolusi. Revolusi belum hamil, apalagi hamil tua, tapi deteksi dini batin publik seperti terasa tanda-tandanya.
Empati adalah kemampuan mengerti perspektif orang lain, kemampuan merasakan perasaan di luar diri. Dua kualitas (perspektif dan perasaan) itu mencegah diambilnya keputusan kepublikan yang menyakiti hati dan merunyamkan pikiran rakyat.
Bila keputusan telah diambil, lalu muncul protes bahkan perlawanan, kemudian pimpinan DPR berkata, “Kami akan tetap menampung semua aspirasi…”, yang terjadi ialah simpati. Bukan empati.
Simpati ‘memberi ruang’ bagi perspektif dan perasaan orang lain. ‘Memberi ruang’ berbeda makna dengan ‘terbuka ruang’. Yang pertama mirip sedekah. Yang kedua pemahaman ‘public space‘. Menilai rakyat butuh sedekah adalah penghinaan. Menjawab suara rakyat ‘bubarkan DPR’ sebagai manusia tolol merupakan penghinaan pangkat dua.
Kata Robert Greene, “The more you say, the more likely you are to say something foolish.” Semakin banyak Anda berbicara, semakin besar kemungkinan Anda mengatakan sesuatu yang bodoh.
Kata-kata orang suci lebih keras: “Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran.” Maka, berhentilah banyak omong.
DPR sekarang belum berumur setahun. Kiranya belum terlambat untuk tahu diri, sebelum lebih jauh, lebih dalam, lupa diri sebagai wakil rakyat.