Bepergian? Tidak
SEJAUH ini rasanya kita telah berdisiplin dengan baik. Kita kian patuh protokol kesehatan. Kita masih hidup. Inilah kenyataan yang patut disyukuri.
Pernah kita merasakan kematian begitu dekat. Maut merenggut banyak warga. Banyak orang yang kita kenal, bahkan kita cintai, pergi seketika. Kita pun tak dapat mengantar mereka ke peristirahatan terakhir.
Duka yang dalam itu tak kita inginkan terulang. Kita berjalan ke depan. Kita tahu omikron telah masuk ke negeri ini. Kita pun tahu apa yang harus kita lakukan untuk tidak tertular atau menularkan.
Di dalam pengertian itu kiranya orang tak mudik, tak bepergian, membatasi mobilitas, bukan semata karena dilarang atau diimbau pemerintah, melainkan terutama karena kita mengerti mana yang baik dan mana yang buruk. Inilah contoh warga yang berkeadaban.
Kita memiliki kekuasaan atas diri kita sendiri. Kiranya inilah pengertian pokok yang menghasilkan disiplin. Inilah pemahaman yang menghasilkan rem untuk diri ini tidak mengikuti hasrat hati bepergian di akhir tahun.
Bepergian itu kemewahan di masa pandemi. Juga keberanian yang tak perlu. Apa hebatnya menyongsong virus yang dapat membawa maut? Diri ini bukan mangsa korona.
Dunia tak kiamat bila tak bepergian. Tuhan pun maha mengerti kenapa pemeluk yang taat berkesadaran bernatal di rumah.
Banyak negara memuji Indonesia. Negara ini dinilai berhasil mengendalikan penularan covid-19. Bukan pujian manis di bibir. Pemerintah memang bergerak sangat cepat, sangat cekatan. Di tengah kelangkaan vaksin, di tengah rebutan vaksin dengan banyak negara di dunia ini, kita unggul. Kita termasuk negara yang rakyatnya paling cepat divaksin covid-19.
Akan tetapi, kekebalan komunitas belum tercapai. Masih jutaan warga yang mendambakan divaksin belum kesampaian. Di lain pihak, masih ada daerah yang capaian vaksinasi warganya masih rendah. Sebagian akibat pengetahuan yang buruk, sebagian lagi akibat kepercayaan yang keliru. Ini pekerjaan rumah yang seyogianya pada 2022 dapat dibereskan.
Juga pekerjaan rumah agar tak terulang, di tengah susah payah pemerintah mendapatkan vaksin, terjadi di suatu daerah ribuan vaksin tak terpakai sampai kedaluwarsa. Sebuah kesia-siaan.
Badan POM awal November lalu mengeluarkan izin penggunaan vaksin Sinovac untuk anak usia 6-11 tahun. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia memberikan rekomendasi penggunaan vaksin tersebut, bahkan dengan petunjuk medis, termasuk kontraindikasi yang lengkap. Anak umur enam tahun ke atas diberi vaksin secara intramuskular dengan dosis 3 ug (0,5 ml) sebanyak dua kali pemberian dengan jarak dosis pertama ke dosis kedua, yaitu empat minggu.
Mereka berpesan agar orangtua tak ragu membawa anak untuk vaksinasi covid-19. Mereka tegas menyebut sebelum dan sesudah vaksinasi semua anak tetap memakai masker dengan benar, menjaga jarak, tidak berkerumun, dan jangan bepergian bila tidak penting.
Kiranya awal tahun depan, setelah divaksin kedua, mereka dapat kembali ke sekolah dengan prokes. Mereka dapat kembali merasakan keceriaan menjadi anak-anak.
Hampir dua tahun anak-anak kita, cucu-cucu kita, tak bermain dengan teman sebaya di sekolah. Bermain bersama membawa anak ke dalam ‘pelajaran’ kehidupan bersama sebagai makhluk sosial. Kualitas yang ‘hilang’ karena anak bersekolah virtual.
Korona belum akan berlalu dalam waktu dekat. Varian baru berkemungkinan muncul tak terduga entah di belahan mana di dunia ini. Kiranya imbauan yang wajar agar tak bepergian ke luar negeri. Ketegasan yang wajar pula bila yang nekat bepergian pulangnya dikarantina dengan ongkos yang mahal.