Pengacara 100 Miliar

0 432

PENGACARA papan atas tentu mahal bayarannya. Bayaran mahal itu selama ini tak pernah menjadi pokok pembicaraan di ruang publik. Itu urusan pengacara dengan kliennya. Kali ini urusan itu ‘melebar’ ke mana-mana.

Adalah seorang pengacara terkemuka yang juga ketua umum sebuah partai politik menangani perkara mengenai AD & ART partai politik lain. Belum pernah terjadi judicial review terhadap AD & ART sebuah partai politik.

Pengacara itu bernama Yusril Ihza Mahendra. Dia Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB). Di dalam kedudukan sebagai pengacara dia diberi kuasa oleh empat penggagas kongres luar biasa Partai Demokrat untuk menguji (judicial review) Anggaran Dasar dan Aturan Rumah Tangga Partai Demokrat.

Kongres luar biasa Partai Demokrat menghasilkan ketua umum baru Moeldoko. Akan tetapi, pendaftaran kepengurusan hasil kongres luar biasa itu ditolak Kementerian Hukum dan HAM. Karena itu, AHY tetaplah menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yang sah.

Publik mengira tamatlah riwayat hasil kongres luar biasa. Ternyata tidak. Yusril muncul dengan berita besar. Dia berpandangan MA berwenang menguji konstitusi partai politik. Sebuah perkara yang tak terpikirkan oleh siapa pun yang tentu dapat ‘membahayakan’ kedudukan AHY. Benarkah?

Menko Polhukam Mahfud MD berpendapat, kendati upaya hukum yang dilakukan Yusril berhasil, hal itu tak ada gunanya. Kenapa? Keputusan itu tak dapat menjatuhkan AHY.

Yusril menjawab Mahfud. Partai memainkan peranan besar dalam penyelenggaraan negara. Bagaimana negara akan sehat dan demokratis kalau partai-partai monolitik, oligarkis, dan nepotis?

Hemat saya, sebagai eksekutif yang mengoordinasikan bidang hukum, tak elok Mahfud mengomentari perkara di ranah kekuasaan kehakiman. Tak elok, sekalipun dia profesor hukum tata negara serta mantan Ketua MK.

Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie berkomentar pedas perihal etika bernegara. Katanya, ketua umum sebuah partai politik tak etis turut mempersoalkan AD & ART partai politik lain.

Yusril menjawab keras Jimly. Katanya, sebagai Ketua MK, Jimly mengabulkan gugatan terhadap Undang-Undang tentang Komisi Yudisial (UU KY). Padahal, UU Kekuasaan Kehakiman tegas memerintahkan agar hakim mundur menangani perkara kalau dia berkepentingan dengan perkara itu. “Di mana etika Prof Jimly?” Keputusan MK itu berakibat KY tidak bisa mengawasi hakim MK. “Ini legacy paling memalukan dalam sejarah hukum kita ketika Prof Jimly menjadi Ketua MK.”

Hemat saya, Jimly telah memercik air di dulang, tepercik muka sendiri. Kiranya dia perlu menjawab kenapa di dalam perkara UU KY itu MK tidak menyerahkan review dilakukan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislative review)?

Kubu AHY menyorot soal bayaran. Kata mereka, seminggu sebelum putusan Kemenkum dan HAM ada pertemuan dengan pihak Yusril yang meminta bayaran Rp100 miliar. Kubu AHY menolak halus karena melampaui batas-batas kepantasan, seakan hukum dapat diperjualbelikan. Bayangkan di pihak yang benar saja, demikian klaim mereka, dimintai tarif Rp100 miliar.

Hemat saya, kubu AHY menilai Yusril mata duitan. Sok membela demokrasi, padahal membela yang bayar.

Kata Yusril, komisi orang, rezeki orang, kok, dipersoalkan? Itu tidak esensial. Lebih baik menyiapkan argumentasi di MA.

Untuk melawan Yusril, kubu AHY didampingi pengacara Hamdan Zoelva. Dia mantan Ketua MK. Dia pernah satu partai di PBB dengan Yusril. Dia tentu menyiapkan argumentasi untuk melawan argumentasi Yusril. Berapa Hamdan Zoelva dibayar?

Hemat saya, kiranya bagus bila kubu AHY juga membuka berapa pengacara Hamdan Zoelva minta bayaran dan berapa akhirnya yang disepakati. Berapa, sih, bayaran yang mereka nilai tidak mata duitan, tidak tergolong jual beli hukum?

Siapa yang menang di dalam pertarungan kedua kubu di tubuh Partai Demokrat itu bukan moral tulisan ini. Tulisan ini mau sok arif dan bijaksana bilang betapa elok bila uang itu digunakan untuk menjaga kebersamaan alih-alih ongkos membayar perselisihan internal. Ribut itu ‘makan hati’, mahal pula ongkosnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.