Pertemuan Elite Integratif

382

PARA pemimpin bertemu, berjabat tangan, bertukar pikiran tentang perkara-perkara besar kiranya bagus buat bangsa dan negara. Itulah yang diharapkan terjadi ketika Ketua Umum Gerindra Prabowo bertandang ke rumah Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh.

Kedua partai itu partai papan atas, peraih kursi ketiga dan keempat terbesar di DPR. Gerindra 78 kursi, NasDem 59 kursi, total 137 kursi atau 23,8%. Sebuah jumlah yang amat bermakna, terutama bagi yang gemar mereka-reka masa depan, karena jumlah itu lebih dari cukup untuk mencalonkan presiden.

Pilpres masih jauh. Pilpres kemarin bahkan masih menyisakan benih-benih disintegrasi. Dalam optik itu pertemuan Surya Paloh dan Prabowo kiranya lebih dimensional ketimbang urusan bagi-bagi kursi kabinet.

Mereka elite penentu dalam kualitas yang kita perlukan, sangat perlukan, yakni sebagai elite integratif. Tiga pikiran besar yang mereka sepakati menunjukkan bobot elite integratif.

Pertama, pemimpin partai politik sepakat untuk memperbaiki citra parpol. Kedua, pemimpin parpol sepakat untuk melakukan segala hal yang dianggap perlu untuk mencegah dan melawan segala tindakan radikalisme. Ketiga, pemimpin partai politik sepakat bahwa amendemen UUD 1945 sebaiknya bersifat menyeluruh.

Kesepakatan pertama merupakan pengakuan objektif atas buruknya penilaian publik terhadap parpol. Parpol lebih mementingkan diri sendiri. Dua pemimpin partai besar dengan jujur melakukan koreksi diri.

Kesepakatan kedua mempertegas komitmen atas ideologi negara Pancasila dan sepakat melawan radikalisme. Dalam Pilpres 2019 terkuak potensi disintegrasi berbasiskan politik identitas, identitas agama. Pertemuan Surya Paloh-Prabowo sarat makna kenegaraan yang dibahasakan sebagai silaturahim kebangsaan.

Kesepakatan ketiga mengundang kontroversi hebat. Pertanyaan yang paling pokok kenapa UUD 1945 perlu diubah? Apa alasannya? Jangan-jangan perkara ini cuma suka-suka elite.

Pertanyaan itu bermaksud mengatakan bahwa rakyat tidak tahu alasan utama kenapa perlu amendemen. Padahal elite telah melangkah rada jauh. MPR yang lalu mewariskan agenda amendemen terbatas kepada MPR yang sekarang, tanpa rakyat tahu kenapa amendemen perlu dilakukan. 

Yang bijak ialah ruang perdebatan seyogianya dibuka seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Tidak didominasi pikiran amendemen terbatas, atau pikiran amendemen menyeluruh. Terbuka pula pikiran kembali ke UUD 1945 asli, atau tidak sama sekali ada amendemen.

Kalau pun konstitusi perlu diubah, apa saja yang perlu diubah? Ini pun jangan-jangan maunya elite semata.

Elite politik rasanya perlu pembelajaran dari buruknya komunikasi kepublikan atas perubahan UU KPK yang berakibat tersulutnya kemarahan publik. Perubahan UU itu dikerjakan seperti pencuri di malam gelap.

Mengubah konstitusi demi GBHN mengundang syak wasangka buruk bahwa GBHN hanya ‘tempelan’ agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Lembaga yang ‘membawahkan’ presiden.

Sejak Pemilu 2004 kita hidup berbangsa dan bernegara sehat walafiat tanpa GBHN, bahkan tanpa ‘lembaga tinggi negara’. Apa perlunya dihidupkan kembali? Bahkan, apa perlunya amendemen konstitusi jika berakibat kegaduhan nasional, bahkan dapat memecah belah bangsa dan negara?

Negara dan bangsa ini bukan laboratorium bongkar pasang konstitusi. Saya percaya elite integratif tahu betul makna pernyataan itu.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.