Perlukah Amendemen Konstitusi?

371

KURANG lebih 15 tahun sudah kita hidup berbangsa dan bernegara tanpa GBHN. Empat kali pemilu telah kita lalui dengan aman dan lancar, pemerintahan berjalan stabil, tiada ‘urusan’ dengan GBHN.

Pertanyaannya, apa perlunya kembali ke masa lalu? Kenapa mesti repot-repot kembali punya GBHN, seperti negara ini tidak punya urusan lain dalam perkara ketatanegaraan yang lebih besar?

GBHN di masa lalu ialah produk MPR yang harus dilaksanakan presiden yang dipilih MPR. Yang paling berkuasa ialah wakil rakyat di MPR, bukan rakyat.

Semua ‘logika’ di dalam kekuasaan MPR itu kemudian gugur karena presiden dipilih langsung oleh rakyat. Hemat saya, dipilih langsung oleh rakyat tidak dengan sendirinya berarti presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak memiliki garis-garis besar haluan negara dalam memimpin bangsa dan negara. Bukankah sebagai capres, dia menyampaikan resmi visi dan misinya ke KPU, lembaga negara yang berwenang, yang kemudian diperdebatkan dalam forum kepublikan?

Sesungguhnya dan senyatanya visi dan misi itulah yang dapat dipandang sebagai sari pati garis-garis besar haluan negara ketika capres menjadi presiden terpilih, yang harus ditunaikannya ketika resmi menjadi Presiden RI.

Dalam perspektif itu, persoalan tinggal bagaimana mengangkat visi dan misi presiden itu sedemikian rupa sehingga lebih sempurna dalam materi/konten dan berkedudukan lebih tinggi dan lebih kuat di dalam tata hukum negara. Pilihannya tidak harus menjadi domain MPR, melainkan bisa pula menjadi domain DPR berupa undang-undang tentang GBHN.

Visi dan misi presiden yang telah diikat dan diperkuat menjadi undang-undang itu berkaitan dengan UU APBN. Anggaran pendapatan dan belanja negara kiranya antara lain berisi ekspresi presiden untuk mewujudkan visi dan misi yang telah dijanjikannya kepada rakyat dalam kampanye pilpres. Visi dan misi yang telah diikat dalam UU GBHN itu secara bertahap dalam 5 tahun dilaksanakan presiden dalam program yang tampak dalam setiap APBN.

Pemikiran di atas berbeda dengan pemikiran MPR lama yang mewariskan rekomendasi kepada MPR baru agar GBHN dihidupkan melalui kekuasaan MPR, yakni amendemen terbatas UUD 1945. Sebuah pemikiran yang sebetulnya mengandung simplifikasi.

Amendemen konstitusi ialah jalan lebar, panjang, dan berliku. Pada mulanya beragenda ‘perubahan terbatas’, ternyata bergulir lebih jauh menjadi ‘perubahan lebih luas’ UUD 1945. Pertanyaannya, siapa menjamin hanya sampai di situ?

Terbuka kemungkinan lain, yakni perubahan konstitusi ‘seluas-luasnya’, sebagaimana terjadi pada MPR hasil Pemilu 1999. Kala itu (1999-2002) sampai terjadi empat kali perubahan UUD 1945.

Tentu saja terbuka pula kemungkinan lain, yakni hidupnya pandangan kembali saja kepada UUD 1945 yang asli. Inilah konstitusi yang di masa saya di bangku sekolah dulu dilukiskan sebagai konstitusi yang bersifat supel dan fleksibel, yang mengatur pokok-pokoknya saja.

Di tengah keinginan melakukan perubahan UUD 1945, kiranya juga selalu ada kemungkinan kalangan yang memilih pro-status quo. Buat apa ada GBHN yang bakal ‘mengekang’ bahkan dapat ‘menjerat’ presiden? Ini bukan pertanyaan iseng. Ini pertanyaan serius, amat serius.

GBHN di dalam konstitusi dapat ‘menjerat’ presiden akibat terbukanya ruang sangat lebar untuk MPR ‘suatu ketika’ menafsir bahwa presiden ‘tidak melaksanakan’ GBHN, alias melanggar konstitusi, sehingga presiden dapat dimakzulkan. Jadi, janganlah mengira ‘perubahan terbatas’ konstitusi tidak dapat berakibat jauh di masa depan.

Kalau toh ada keinginan MPR mengubah UUD 1945, janganlah pula sembunyi-sembunyi seperti pencuri di malam gelap dan janganlah berpandangan sempit berkacamata bendi. Dengarkanlah dengan sepenuh hati dan sepenuh akal budi pandangan-pandangan berbeda, terutama keberatan-keberatan publik.

Protes besar-besaran melalui demonstrasi bukan pilihan cerdas kita berdemokrasi. Pilihan kita ialah melalui dialog terbuka yang mendalam, bukan lewat poster dan teriakan, apalagi anarkisme.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.