MK bukan Tempat Curhat

315

SABAN kali pilpres selesai, kiranya yang diharapkan terjadi di tengah warga ialah pertumbuhan perspektif. Bukan pengerdilan cakrawala. Itulah sebabnya dalam pilpres diselenggarakan debat publik. Bukan debat perasaan.

Pilpres seyogianya membawa orang kepada dua kualitas yang berkaitan, yakni berpikir besar dan meluasnya horizon berbangsa dan bernegara. Di situlah perbedaan terpokok memilih presiden dengan memilih kepala desa.
Ketika hasil pilpres dibawa ke MK, sepatutnya pula orang menghubungkannya dengan kesadaran politik dan kematangan beperkara. MK bukan tempat curhat.

Bersengketa di MK perihal hasil pemilu, bukan mengenai syarat menjadi cawapres, apalagi keberpihakan media. Salah tempat dan salah alamat.

Bersengketa hasil pilpres di MK ialah bersengketa dengan bukti-bukti faktual. Seyogianya yang terjadi adu kecukupan dan kekuatan bukti-bukti faktual. Bukan pertunjukan mimbar bebas seperti zaman saya bersekolah di Kampus Bulaksumur dulu.

Selama ini, bahkan sebelum pilpres yang kencang dinarasikan ialah ‘jujur’ dan ‘curang’. Bukan ‘menang’ dan ‘kalah’. Ke mana saja saksi-saksi pihak yang ‘merasa’ dicurangi? Bukankah tangan Bawaslu sampai ke TPS?
Pertanyaan itu pun salah alamat dan berbau curhat karena di MK tidak berurusan dengan proses pemilu, tetapi berurusan dengan hasil pemilu berbasiskan bukti-bukti.

Rasanya perlu pula disebut yang dipertaruhkan di MK bukan reputasi capres, apalagi reputasi lawyer, kuasa hukum capres. Yang dipertaruhkan ialah kepercayaan warga yang punya hak konstitusional yang telah memilih capres yang diyakininya dapat membuat Indonesia lebih baik 5 tahun ke depan.

Singkatnya para lawyer terhormat itu tidak usah merasa bahwa reputasi mereka bakal meningkat atau merosot gara-gara menangani sengketa hasil pilpres. Pokok perkara ialah hati nurani rakyat yang diekspresikan dalam jumlah suara yang selisihnya 16 juta lebih dalam penghitungan KPU, bukan dalam kliping berita.

Abraham Lincoln bilang, “If you want to test a man’s character, give him power.” Jika Anda ingin menguji karakter seseorang, berilah dia kekuasaan.

Para lawyer itu diberi kekuasaan. Melalui siaran langsung televisi dari ruang sidang MK yang terbuka untuk umum, warga yang memilih Jokowi atau Prabowo dapat melihat pertunjukan karakter para lawyer dalam agresivitas orang-orang ekstrovert yang sepertinya lebih mencintai dirinya daripada mengedepankan bukti-bukti faktual. Maaf bila penilaian ini terlalu keras.

Hemat saya, sekali lagi perlu penekanan bahwa melalui sengketa di MK kiranya warga mendapat pembelajaran mengenai hal-hal substansial kepublikan. Tidak hanya kematangan beperkara, tapi juga ketajaman melihat dunia politik nyata, terutama meningkatnya kematangan dalam berdemokrasi dan berkonstitusi.

Setelah MK memutus perkara, baiklah kita tunggu capres yang kalah mengucapkan selamat kepada capres yang menang. Pernyataan itu mungkin basa-basi, mungkin diperkuat sebuah nasihat hukum bahwa putusan MK final dan mengikat, tapi jauh lebih dalam maknanya bila berkat pikiran besar dan jiwa besar.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.