The Real People

297

SETELAH pilpres, kiranya terjadi klaim aneh tentang rakyat. Ada yang mengklaim bahwa mereka yang punya rakyat yang suaranya dicurangi. Lalu muncul ajakan.

Maukah Anda diajak makar? Ini pertanyaan sinting. Jelas saya tidak mau. Sesama orang waras, saya pikir Anda pun tidak mau.

Makar bertentangan dengan demokrasi. Akan tetapi, ditengarai di negeri ini, setidaknya menurut kepolisian, ada yang diduga makar.

Soal pokok kenapa setelah pesta demokrasi pilpres yang mencuat urusan makar? Tidakkah karena memandang makar sebagai saudara kandung demokrasi?

Ada-ada saja. Saudara kandung berasal dari satu rahim, rahim yang sama. Bagaimana mungkin makar dan demokrasi serahim?

Jawabnya kira-kira begini. Yang diperebutkan ialah yang bernama rakyat. Bukankah demokrasi pemerintahan oleh rakyat? Ada yang mengklaim bahwa mereka yang punya rakyat.

Apakah yang tidak termasuk dalam klaim itu bukan rakyat? Jawabnya bukan rakyat kita.

Begitulah pada mulanya sang rakyat lahir dari rahim yang sama, tetapi setelah Pilpres 2019, sesama anak kandung itu diklaim berpisah.

Yang satu ialah rakyat yang mengakui kesahan dan keabsahan penghitungan suara KPU. Inilah rakyat yang menunggu pengumuman resmi KPU pada 22 Mei 2019.

Yang satu lagi, rakyat yang diklaim menolak hasil perhitungan suara KPU. Pemilu dinilai curang. Inilah rakyat yang katanya mau makar atau diajak makar.

Ajakan makar itu ada yang diekspresikan dengan pernyataan pendek ‘Jokowi dilikuidasi’. Ada yang membahasakannya rada panjang, ‘jangan tunduk kepada konstitusi Indonesia, kita harus revolusi, harus bubarkan negara ini’.

Yang paling seram beredar video pria muda berjaket cokelat mengancam memenggal kepala Jokowi. Dia bukan cuma mau menggulingkan presiden yang sah, malah mau membunuhnya.

Hal itu terlihat pada video yang beredar di media sosial setelah pilpres. Itulah yang kiranya dijadikan alat bukti bagi kepolisian untuk menjadikan pelakunya sebagai tersangka makar.

Pilpres seyogianya solusi yang konstitusional dalam urusan rakyat memilih pemimpin. Sekarang pilpres malah dijadikan cantolan orang untuk makar dengan klaim rakyat menginginkannya.

Pertanyaannya, siapa sebetulnya ‘the real people’? Bukankah semua rakyat yang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya itu rakyat yang nyata, bukan fiktif, bukan rakyat-rakyatan? Yang dipilih juga capres benaran, bukan capres-capresan. Tentu bakal ada capres yang menang atau kalah. Siapa pun yang menang dan siapa pun yang kalah merupakan hasil pilihan rakyat, rakyat yang nyata, bukan rakyat-rakyatan.

Bukan pula rakyat di sebelah sini dan rakyat di sebelah sana. Rakyat bersama.

Rakyat bisa tidak sepikir. Inilah yang membuahkan perbedaan pendapat dan pilihan. Perkara yang lumrah dalam demokrasi. Namun, rakyat seyogianya sehati, sejiwa, setujuan dalam berbangsa dan bernegara.

Pilpres bukan alat untuk membelah rakyat, apa pun klaim yang dipakai. Pilpres bukan pula referendum untuk menentukan kita bersatu atau berpisah. Pilpres tempat kita memilih pemimpin terbaik untuk Indonesia yang utuh.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.