Memilih Pemimpin di Tiga Negara

369

MEMILIH pemimpin bangsa dan negara bukan sebuah perjudian. Bukan perkara untung-untungan. Kalau tidak beruntung, ya buntung.

Mari kita lihat tiga negara bertetangga, Malaysia, Indonesia, dan Singapura, dalam mewujudkan pergantian pemimpin negara. Dua substansi terpokok yang perlu disorot ialah pergantian dengan sukacita dan mampu mengelola perubahan.

Singapura telah menentukan siapakah pengganti Lee Hsien Loong, 67, perdana menteri sekarang. Sang pengganti ialah Heng Swee Keat, 57, yang bakal menjadi pemimpin Singapura generasi keempat.

Heng memang dipersiapkan untuk sampai ke jabatan puncak menjadi orang nomor satu Singapura. Pada 1 Mei 2019, dia dipromosikan menjadi deputi perdana menteri seraya tetap menjadi menteri keuangan.

Kapankah suksesi itu terjadi? Dengan asumsi hasil Pemilu 2020 PAP kembali berkuasa (sampai saat ini partai itu sangat besar dan kuat untuk dikalahkan), paling lambat 15 Januari 2021, parlemen mengukuhkan Heng Swee Keat menjadi PM yang baru.

Heng pernah menjadi menteri pendidikan dan managing director Otoritas Moneter Singapura. Ia meraih gelar master ekonomi dari University of Cambridge dan master administrasi negara dari Harvard University. Salah satu ciri pokok elite pemerintahan Singapura ialah mereka terdidik di sekolah-sekolah hebat.

Singapura negara multiras. Sekalipun Tionghoa mayoritas, etnik minoritas terjamin hak dan kedudukannya. Contoh paling bagus kursi presiden harus bisa dijabat kaum minoritas, yang sekarang dipercayakan kepada Halimah Yacob dari puak Melayu. Heng diyakini berkemampuan membawa Singapura tetap unggul di masa depan dengan tetap melanjutkan gaya kepemimpinan konsultatif terbuka (open consultative) Goh Chok Tong dan Lee Hsien Loong yang merangkul semua ras.

Kita tahu Malaysia kembali menjadikan sang kakek, 93, Mahathir Mohamad menjadi perdana menteri. Sebuah kemenangan menggantikan PM Najib Razak yang dicandrakan korup. Pergantian itu berlangsung dalam damai. Akan tetapi, baru berkuasa, Mahathir menyulut potensi konflik di dalam negeri ataupun dengan mancanegara.

Di dalam negeri Mahathir berkonflik dengan Kerajaan Johor. Katanya Malaysia bukan monarki absolut. Sebaliknya, pihak kerajaan bilang kedaulatan wilayah Negara Bagian Johor ada di tangan sultan.

Mahathir semula bernafsu membatalkan perjanjian pembangunan infrastruktur dengan Tiongkok. Perjanjian dibuat di masa PM Najib Razak. Kata Mahathir, rezim Najib Razak terlalu banyak meminjam uang dari Tiongkok, “Yang tidak mungkin kami bayar.” Tapi kini Mahathir mulai pragmatis dengan menghidupkan kembali proyek ECRL (East Cost Rail Link) dan proyek Bandar Malaysia yang dibiayai Tiongkok.

Pun dengan negara tetangga Singapura, Mahathir terus memantik sengketa perbatasan udara dan laut. Akan tetapi, sejauh ini pihak Singapura lebih melihat ulah Mahathir itu untuk mengalihkan persoalan yang dihadapi Mahathir di dalam negeri.

Ada pertanyaan serius, setahun setelah berkuasa, sanggupkah Mahathir mengelola ekonomi Malaysia tanpa mengambinghitamkan korupsi PM Najib, khususnya skandal 1MDB bermiliar-miliar dolar AS?

Hemat saya ada satu persoalan yang bisa menjadi bom waktu di dalam negeri, yaitu kapankah Mahathir menyerahkan jabatan PM Malaysia kepada Anwar Ibrahim? Bisa jadi Mahathir lupa bahwa di dalam koalisi yang berkuasa sekarang, Partai Keadilan Rakyat yang dipimpin Wan Azizah, istri Anwar Ibrahim, yang meraih suara terbanyak dalam Pemilu 2018.

Malaysia bisa set back di bawah kepemimpinan Mahathir yang cenderung menang sendiri.

Saatnya mendarat di Bumi Pertiwi. Kiranya lebih dari cukup Bung Karno dan Pak Harto dijatuhkan people power dan cukuplah seorang Gus Dur diturunkan parliament power (MPR).

Karena itu, bersabarlah sampai KPU mengumumkan hasil penghitungan suara. Bagi yang keberatan, silakan membawanya ke MK.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.