Mengawal Kejujuran

295

URUSAN besar kita dalam pilpres ialah perkara ketidakpercayaan. Bahkan, dalam menyongsong Pilpres 2019, sengaja dimunculkan prasangka yang luar biasa.

Ada yang bilang dia harus menang dengan selisih 25% karena suaranya akan dicuri belasan persen. Yang lain bilang kalau kalah, akan ada people power.

Demikianlah jauh hari ruang publik diisi dengan narasi ketidakpercayaan, narasi kecurangan. Narasi itu sejauh ini lebih ditujukan kepada penyelenggara pemilu (KPU), yang kiranya dapat merusak kredibilitas lembaga itu dan karena itu perlu dilawan.

Benar, kecurangan tidak boleh terjadi. Untuk itu cegahlah dan awasilah agar tidak terjadi. Itu bukan imbauan, tapi nyata berwujud pemberdayaan badan negara.

Untuk mengawal suara rakyat, negara sampai perlu membentuk organ pengawas hingga di level terbawah.

Pada pemilu serentak 17 April mendatang, untuk pertama kali dalam sejarah Bawaslu punya organ pengawas sampai di level rakyat, di TPS.

Karena itu, aneh benar jika semakin diawasi malah semakin kencang nyanyian berisi tuduhan bahwa dalam Pilpres 2019 bakal terjadi kecurangan suara yang fantastis, dicuri belasan persen.

Narasi itu sepatutnya lebih membuat mawas diri para pengawas (Bawaslu) yang organnya sampai ke TPS, dan anggarannya naik berlipat-lipat. Bawaslu diberi anggaran Rp8 triliun, hampir dua kali lipat anggaran Kemendagri yang cuma Rp4,5 triliun.

Namun, lebih dari itu, tuduhan kecurangan dalam pilpres mestinya juga pernyataan yang ditujukan kepada diri sendiri, kepada para saksi yang tidak gigih, tidak tangguh melaksanakan tugas agar tidak terjadi kecurangan.

Berpikir positif mungkin tuduhan itu dimaksudkan agar semua pihak tidak lengah. Saya sebagai pendukung Jokowi juga ingin Jokowi menang dengan selisih 25%. Bukan karena curiga suaranya akan dicuri belasan persen. Namun, karena saya percaya Jokowi dipilih rakyat dengan jujur, di pemilu yang diselenggarakan dengan jujur (KPU), dan diawasi pula dengan jujur (Bawaslu), serta disaksikan para saksi yang melaksanakan tugasnya dengan telaten dan saksama.

Hemat saya rasanya perkara besar kita bukan mengawasi kecurangan, tapi mengawal kejujuran, terutama mengawal kejujuran rakyat yang telah memilih presiden-wakil presiden sesuai dengan hati nuraninya. Pertanyaannya,  dari mana datangnya kejujuran itu?

Seeing is believing. Rakyat percaya karena melihat, merasakan sendiri kemajuan negara ini, misalnya dalam hal infrastruktur. Rakyat di daerah perbatasan dengan negara lain kiranya baru sekarang merasa bangga dengan negaranya sendiri. Sebelumnya perbatasan itu cuma patok kayu. Negara tetangga lebih indah jika dibanding dengan negara sendiri.

Kejujuran tidak dapat tegak dengan sendirinya. Seeing is believing, tapi banyak yang ingin membutakan hati nurani rakyat. Karena itu, kejujuran harus ditegakkan dan dikawal habis-habisan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.