Guru Publik

340

DALAM demokrasi kita kiranya banyak yang lucu-lucu yang hidup berdampingan dengan yang tegang-tegang. Contohnya, dalam debat capres tentu ada ketegangan. Namun, setelah debat usai, melalui media sosial, berhamburanlah yang lucu-lucu di ruang publik.
Satu di antara yang lucu itu ialah kisah rekaan tentang seorang asing beristrikan perempuan Indonesia. Ia melapor kepada polisi karena mobil dan istrinya dibawa kabur sopirnya.

Alkisah dalam waktu kurang dari 6 jam si sopir tertangkap polisi. Segera si sopir diinterogasi penyidik. Tanya penyidik, “Mengapa Anda membawa kabur istri dan mobil pria bule itu?”

Jawab sopir, “Saya ini seorang nasionalis daripada dikuasai asing lebih baik saya kuasai.”

Tidak penting lagi siapa pengarang orisinal kisah rekaan itu. Sekalipun tidak eksplisit disebut konteksnya, orang tahu betul teks itu berkaitan langsung dengan pernyataan Prabowo dalam debat yang berlangsung Minggu (17/2).

Dalam debat malam itu Jokowi menyebut Prabowo punya lahan yang sangat luas di Kalimantan Timur 220 ribu ha dan 120 ribu ha di Aceh Tengah. “Pembagian seperti ini tidak dilakukan di masa pemerintahan saya,” kata Jokowi.

Pernyataan Jokowi itu, dalam pengamatan seorang teman, membuat Prabowo menjadi kalem. Di akhir debat, Prabowo membenarkan pernyataan Jokowi dan bilang tanah itu HGU, milik negara. “Jadi, setiap saat, setiap saat negara bisa ambil kembali, dan kalau untuk negara, saya rela mengembalikan itu semua. Tapi daripada jatuh ke orang asing, lebih baik saya yang kelola karena saya nasionalis dan patriot.”

Pernyataan Prabowo itu mengundang sedikitnya dua reaksi, yaitu yang lucu dan yang serius. Yang lucu menganalogikannya dengan kisah rekaan sopir yang nasionalis yang telah dikutip di atas, sedangkan yang serius membahasakan Prabowo sebagai seorang senofobia yang takut pada asing.

Yang lucu sekaligus serius, atau serius tapi lucu, gara-gara pernyataan Jokowi itu tim advokat dari pihak Prabowo melaporkan Jokowi ke Bawaslu dengan tuduhan pelanggaran pemilu, yaitu menyerang pribadi capres Prabowo. Menurut mereka, lahan itu bukan atas nama pribadi Prabowo, tetapi atas nama perusahaan.

Maka terjadilah dorongan migrasi dari debat publik menjadi debat kusir, dari pencerdasan publik menjadi pembodohan publik. Bukankah debat publik, terlebih debat capres merupakan forum pembelajaran adu argumentasi yang terbuka, sehat, dan cerdas bagi rakyat? Dalam kontestasi kepublikan itu seyogianya orang ‘bertemu’ dengan guru publik, bahkan guru bangsa.

Yang terjadi malah berujung pada pelaporan pelanggaran hukum. Dalam pelaporan itu tampaklah hal yang paling serius, tetapi paling tidak lucu, yakni perihal pemahaman konsep ‘hak menguasai dari negara’ serta pemahaman ‘pemilikan perseroan’.

Dalam konteks HGU, ‘hak menguasai dari negara’ itu dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Bahkan, HGU dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain melalui (1) jual beli, (2) tukar-menukar, (3) penyertaaan dalam modal, (4) hibah, dan (5) pewarisan.

Undang-undang tegas mengatur HGU tidak dapat jatuh kepada asing. Hanya warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia yang dapat mempunyai HGU. Jadi menyebut bahwa ‘daripada jatuh ke orang asing, lebih baik saya yang kelola karena saya nasionalis dan patriot’, merupakan pernyataan retorik yang tidak cocok dengan undang-undang agraria.

Sebetulnya apa yang sedang terjadi? Saya kira bukan perkara pengetahuan, apakah itu mengenai HGU apalagi unicorn, melainkan urusan yang lebih besar, tentang open mind, pikiran dan hati yang terbuka. Padahal, itulah esensi debat publik, yaitu terbuka untuk menang, terbuka pula untuk kalah dalam jiwa dan pikiran yang jernih. Bukankah kita tengah mencari presiden yang negarawan?

Sejujurnya sejauh ini kita belum menciptakan perilaku politik yang baru. Bahkan sejauh ini kita belum punya pandangan politik yang baru. Namun, kita tidak boleh pesimistis. Bukankah masih ada tiga kali debat?

Pernah saya utarakan bahwa saya tidak percaya debat capres-cawapres memengaruhi elektabilitas. Akan tetapi, kiranya publik boleh berharap di forum itu nyata hadir guru publik, bahkan guru bangsa sehingga seusai debat anak bangsa lebih ‘kenal’ siapa yang punya jiwa dan pikiran jernih untuk memimpin negara dan bangsa ini lima tahun ke depan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.