Ongkos Kesombongan

356

SOMBONG itu menelan biaya. Semakin tinggi kesombongan kiranya semakin mahal ongkosnya.

Pernyataan itu tentu bertentangan dengan pernyataan ‘biar miskin asal sombong’. Dalam kemiskinan, apa yang tersisa yang dapat ditegakkan oleh diri yang miskin? Jawabnya ialah harga diri yang tidak seorang pun dapat membelinya.

Alkisah seorang ibu berusia 82 tahun meninggal dunia setelah lama dirawat di rumah sakit. Anaknya yang paling kaya bilang. “Izinkan semua biaya saya yang tanggung.” Anaknya yang paling miskin bilang, “Izinkan kain kafan ibu saya yang tanggung.”

Mereka yang bersaudara semua terdiam. Kain kafan itu me­rontokkan batas kaya dan miskin, menggugurkan kesombongan yang kaya ataupun yang miskin. Yang kemudian terjadi ialah semua anak berbagi sesuai kemampuan masing-masing.

‘Sesuai kemampuan masing-masing’ mengekspresikan rasa hormat terhadap perbedaan kemampuan. Di situ hadir dignity and fairness. Di situ dipraktikkan kearifan yang membuat orang mengambil keputusan ‘eudaimonia’, keputusan yang membahagiakan.

Pertanyaannya, apakah orang mesti menunggu kain kafan, baik dalam arti nyata maupun simbolis untuk tidak sombong? Setiap orang akan mati dan kiranya tidak ada kesombongan yang abadi setelah si sombong mati. Lagi pula mana lebih berharga mengenang kesombongan orang (yang telah) mati atau kerendahan hati orang (yang telah) mati?

Lebih baik meneladani yang masih hidup yang masih bertarung berhadapan dengan kenyataan yang pahit maupun yang manis. Hanya yang masih hidup  yang punya ego. Bukankah kematian akhir pertandingan?

Tanpa berburuk sangka, kiranya Bukalapak, perusahaan e-commerce yang tengah berjaya, bisa tewas dan ‘dikainkafankan’ gara-gara kesombongan CEO-nya, Achmad Zacky. Beramai-ramai pendukung Jokowi menghukumnya dengan cara mengajak netizen melakukan uninstall terhadap Bukalapak.

Pangkal persoalan ialah Achmad Zacky berkicau di Twitter (13/2) tentang rendahnya anggaran R&D negara ini. Data sejumlah negara disajikan didahului pendapatnya bahwa omong kosong Industri 4.0 kalau budget R&D negara kita ‘kaya gini’, yaitu berada pada peringkat 43 dengan anggaran US$2 miliar. Lalu ditutup komentar, ‘Mudah-mudahan presiden baru bisa naikin’.

Frasa anggaran ‘kaya gini’, tahun anggaran 2016, jelas menyalahkan Jokowi, presiden sekarang yang memimpin negara ini 2014-2019. Dibaca dalam satu konteks komentar ‘Mudah-mudahan presiden baru bisa naikin’, jelas menunjukkan posisi politik Achmad Zacky dalam pilpres dengan cara merendahkan presiden sekarang. Padahal anggaran negara produk bersama pemerintah dan DPR dengan oposisi ada di dalamnya.

Kicauan itu mengundang kemarahan dan beramai-ramailah pendukung Jokowi mengajak uninstall Bukalapak yang bisa bikin perusahaan e-commerce itu mampus atau pingsan.
Achmad Zacky kemudian mendatangi Istana (16/2). Ia meminta maaf kepada Jokowi yang disaksikan Pramono Anung dan Teten Masduki. Presiden Jokowi memaafkannya. Bahkan ia mengajak warga untuk menghentikan uninstall Bukalapak. Katanya, “Kita ini, kita semuanya ini harus mendorong anak-anak muda yang memiliki inovasi, yang memiliki kreativitas. Kita juga ingin mendorong UMKM kita dari offline supaya masuk ke market place online system. Kita harus bijak dalam bersikap, matang dalam bersikap, dalam setiap peristiwa apa pun. Oleh sebab itu, saya mengajak hari ini untuk menghentikan, setop uninstalling Bukalapak.”

Kesombongan Achmad Zacky sesungguhnya telah terlihat ketika pada 14 Januari 2019, ia berkicau di Twitter, ‘I dont know why The Economist can be so stupid’. Ia menilai The Economist bodoh karena mengira majalah itu menulis Tokopedia dan Bukalapak sebagai startup yang berbasis di Singapura.

Achnad Zacky berkomentar, padahal ia salah baca atau malah sama sekali tidak membaca artikel berjudul ‘Island Shopping’ yang dimuat di rubrik ‘Business’ itu (The Economist, 12-18 Januari 2018, halaman 53). Tulisan itu justru dengan cerdasnya menunjukkan kehebatan perusahaan lokal Indonesia bertempur melawan perusahaan yang didukung Tiongkok.
Perusahaan e-commerce kita punya pengetahuan lokal. Kecanggihan Bukalapak bahkan disebut khusus punya 400 ribu ‘agen’ di seluruh negeri.

Presiden Jokowi menunjukkan sejatinya pemimpin bagi semua anak bangsa, termasuk bagi anak bangsa yang dengan sombongnya mengejek negeri sendiri yang anggaran R&D-nya ‘kaya gini’ dan berujar ‘mudah-mudahan presiden baru bisa naikin’.

Saya sendiri ingin presiden baru itu ialah pribadi yang tidak sombong, yaitu presiden sekarang yang mendapat mandat baru dari rakyat karena terpilih kembali. Demi meningkatkan daya saing Indonesia dalam era Industri 4.0, saya percaya di masa jabatan kedua Jokowi bersama DPR yang baru akan menaikkan anggaran R&D yang sekarang dengan sombongnya dinilai omong kosong oleh Achmad Zacky.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.