Pagar-Pagar yang semakin Tinggi

294

SIAPAKAH yang percaya bahwa pengaruh undang-undang masih kalah jika dibandingkan dengan pengaruh budi pekerti orang banyak?

Saya termasuk yang percaya pernyataan itu. Pengaruh budi pekerti orang banyak lebih besar daripada pengaruh undang-undang yang dibuat untuk mengatur orang banyak.
Kendati demikian, orang banyak tetap perlu diatur dengan undang-undang yang bagus. Kita percaya urusan orang banyak, urusan kepublikan tidak boleh ditangani dengan serampangan, tanpa aturan yang bagus.

Kita sebagai bangsa dan negara mampu menghasilkan undang-undang yang bagus yang sesuai dengan konstitusi yang memang bagus. Dalam hal ada undang-undang yang mencong dari konstitusi, kita punya lembaga negara untuk mengoreksinya yang putusannya final dan mengikat.

Tidak perlu diragukan dari segi banyaknya lembaga negara, serta banyaknya undang-undang yang mengatur hidup kita sebagai negara maupun sebagai warga negara, kita tergolong bangsa dan negara yang sangat maju. Kita tidak kekurangan peraturan untuk menjadi bangsa dan negara yang berkeadaban.

Kita pun sangat maju dalam menyadari bahwa orang di negeri ini mudah tergoda untuk melanggar undang-undang. Psikologi ini menghasilkan dua macam produk yang jika dipikir-pikir terasa aneh karena produk yang satu kiranya dihasilkan akibat tidak percaya pada produk sebelumnya.

Yang pertama, kita membangun pagar-pagar yang semakin tinggi dalam banyak cabang kehidupan. Namun, yang terjadi sebaliknya, semakin tinggi pagar semakin banyak yang memanjatnya. Terlalu banyak bukti bahwa undang-undang yang bagus dengan pagar-pagar yang kian tinggi tidak mampu menjaga, mengawal, atau membuat orang takut sehingga tidak memanjatnya. Semakin tinggi pagar semakin menantang untuk dipanjat.
Yang kedua, semakin banyak pakta integritas yang ditandatangani di negeri ini. Pakta integritas menunjukkan betapa pagar yang kian tinggi itu tidak cukup menakutkan untuk orang patuh undang-undang. Terutama UU korupsi.

Paling akhir ialah pakta integritas yang diteken tujuh panelis dan dua moderator debat calon presiden agar mereka tidak membocorkan soal yang akan diajukan kepada capres-cawapres.

KPU merahasiakan kisi-kisi pertanyaan demi menghasilkan debat yang lebih substansial dan lebih menarik bagi publik. Demi terjaminnya kerahasiaan itu, tujuh panelis dan dua moderator debat menandatangani pakta integritas.

Di atas kertas mereka akan menegakkan integritas, yaitu integritas dalam maknanya yang terdalam sebagai orang yang berkualitas jujur dan punya prinsip-prinsip moral yang kuat.
Izinkan saya menggunakan kata ‘budi pekerti’ sebagai ganti kata ‘integritas’, yaitu dalam makna umum yang diberikan Alexis de Tocqueville ketika dia membahas akar sosial demokrasi masyarakat Anglo Amerika. Budi pekerti ialah kumpulan sifat moral dan intelektual dari manusia sosial.

Kenapa mereka perlu meneken pakta budi pekerti yang mempertaruhkan moral dan intelektual? KPU tidak berpura-pura tidak tahu bahwa politik amat bisa menjauhi kejujuran, terutama dalam pilpres. KPU tahu betul kaitan politik dan korupsi. Karena itu, misalnya KPU melarang mantan koruptor menjadi caleg yang sayangnya ketentuan itu dibatalkan MA.

Maaf sekali lagi harus dikatakan orang di negeri ini mudah tergoda untuk melanggar undang-undang. Bukan mustahil ada yang berusaha menggoda agar tujuh panelis dan dua moderator debat itu miring ke satu sisi pasangan capres-cawapres dengan satu dan lain imbalan selain uang.

Sekalipun terdengar naif, kiranya KPU masih percaya dalam politik transaksional, dalam politik yang menjauhi kejujuran, pengaruh pakta budi pekerti masih lebih besar jika dibandingkan dengan pengaruh undang-undang yang pagarnya amat tinggi.

Saya tidak percaya debat capres-cawapres berpengaruh pada  elektabilitas. Kendati demikian, di tengah pagar-pagar yang semakin tinggi dan orang tidak takut memanjatnya, publik tetap perlu disuguhi debat yang menyenangkan sebagai hiburan politik.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.