Ke Mana Aparat Sipil?

263

JUDUL itu pertanyaan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pertanyaan menggugat karena aparat sipil ‘tidak tampak’ di tengah warga korban bencana. Ke mana aparat sipil?

Kata Wapres JK, “Minggu lalu, saya ke Palu melihat (penanganan) bencana. Semua yang memegang kendali tentara. Semua bantuan lewat korem, satgas lewat korem, yang mengatur tentara. Ke mana aparat sipil? Ke mana Kantor gubernur? Ke mana kantor wali kota?”

JK memberondongkan semua pertanyaan itu ketika memberi pembekalan kepada 88 birokrat pemegang jabatan pimpinan madya dan calon pemegang jabatan pimpinan madya di Istana Wapres, Senin (8/10). Mereka sasaran yang tepat untuk digugat.

Kenapa? Manajer lapis tengah bertanggung jawab kepada manajemen puncak atas berfungsinya unit kerja. Mereka menyiapkan panduan untuk beroperasinya staf di jajaran bawah dan mendorong untuk berkinerja lebih baik.

JK asli sipil. Dia bukan tokoh yang menjadi sipil karena purnawirawan. Pertanyaannya yang menggugat aparat sipil itu ialah pertanyaan dari sipil untuk sipil, di tengah sistem politik yang ditegakkan di atas supremasi sipil setelah dwifungsi ABRI direformasi.

Supremasi sipil itu, antara lain, hanya sipil yang punya hak suara dalam pemilu (pileg, pilpres, pilkada). Padahal, reformasi membuat tentara tidak punya wakil di parlemen sehingga aspirasi mereka sepenuhnya dipercayakan kepada sipil yang dipilih rakyat.

Supremasi sipil itu juga diperlihatkan melalui kedudukan menteri pertahanan yang diisi sipil. Setelah reformasi, baru di masa pemerintahan Jokowi sekarang posisi itu diberikan kepada purnawirawan.

Di tengah supremasi sipil itu, di tengah duka yang mendalam akibat gempa dan tsunami, sekarang muncul pertanyaan menggugat dari seorang wakil presiden yang sipil. Ke mana aparat sipil? Ke mana kantor gubernur? Ke mana kantor wali kota?

Jumat (5/10) pagi, sepekan setelah gempa dan tsunami, dalam program breaking news Metro TV, ditayangkan liputan kantor pemerintahan di Palu yang masih sepi dan tertutup. Saya geram dan berkomentar keras di acara itu agar pegawai negeri di situ dipecat saja. Maaf, komentar itu berlebihan, sekalipun fakta bahwa sense of crisis aparat sipil memang jelek. Padahal, dalam keadaan darurat, itulah sense yang sangat diperlukan.

Sejujurnya, reformasi birokrasi memang gagal. Bayangkan, ribuan aparatur sipil yang korupsi tidak dipecat. Mereka tetap makan gaji, tetap dalam kedudukannya. Apa artinya? Meminjam pertanyaan JK, ke mana aparat sipil?

Dalam keadaan normal saja, perkara yang tidak normal, yaitu korupsi dibiarkan hidup normal, hidup wajar dalam pembiaran aparat sipil. Bagaimana pula dalam keadaan tidak normal akibat gempa dan tsunami yang dahsyat? Terjadilah kenyataan buruk, aparat sipil yang pelayan warga itu ‘tidak tampak’ di tengah warga. Yang pegang kendali tentara. Ke mana aparat sipil?

Pelayan rakyat seyogianya punya sedikitnya tiga kapabilitas, yaitu dalam keadaan normal punya sense of urgency dan sense of proportion. Dalam keadaan darurat punya sense of crisis. Pertanyaan Wapres Jusuf Kalla, ke mana aparat sipil, ke mana kantor gubernur, ke mana kantor wali kota di Palu itu, kiranya pertanyaan yang juga menggugat dalam keadaan normal.

Hemat saya, pertanyaan Wapres JK yang sipil itu bahkan perlu dimaknai lebih jauh dan lebih dalam untuk mempertanyakan perkara yang lebih besar, yaitu supremasi sipil yang lebih bertanggung jawab.

Salah satu supremasi sipil yang bertanggung jawab itu kiranya diekspresikan dalam Pilpres 2019 yang menjunjung tinggi keadaban berdemokrasi. Di level elite, terlebih yang menyandang tokoh reformasi, memperlihatkan keteladannya tentang kehebatan supremasi sipil. Selanjutnya, rakyat berduyun-duyun menggunakan hak pilihnya dengan riang gembira seperti terjadi pada Pemilu 1955.

Berkeadaban jelas dan tegas antiberita bohong. Puncak keadaban berdemokrasi ialah saling menghormati pilihan masing-masing dan dengan jiwa besar menerima siapa pun terpilih menjadi presiden, termasuk bila yang terpilih Jokowi lagi.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.