Pandangan Naif tentang Gempa

273

DUKACITA mendalam kembali kita alami akibat gempa bumi dan tsunami yang menelan nyawa dan harta anak bangsa.

Menangani akibat gempa dan tsunami ialah urusan kita ‘hari-hari ini’. Namun, kiranya perlu diingat gempa dan tsunami juga punya ‘hari-hari yang lalu’. Di hari-hari yang lalu itu ada dua pokok pikiran yang perlu disebut kembali.

Pertama, tidak ada tsunami tanpa didahului gempa. Tidak semua gempa menimbulkan tsunami. Karena itu muncul pengumuman standar, berisi imbauan untuk masyarakat agar tetap tenang dan mengikuti arahan serta informasi dari BMKG.

Pandangan naif ialah tidakkah segala sesuatu menjadi terlambat karena menunggu informasi dari BMKG untuk tahu adanya potensi tsunami?

Kedua, gempa susulan yang pada umumnya kekuatannya semakin kecil. Yang perlu digarisbawahi frasa ‘pada umumnya’. Alam yang ‘marah’ itu berkemungkinan berkelakuan ‘pada khususnya’, yaitu gempa susulan yang kekuatannya semakin besar. Karena itu, masyarakat diimbau agar tetap waspada terhadap gempa susulan.

Pandangan naif ialah bagaimana publik tahu yang bakal terjadi gempa bumi susulan yang lebih besar yang tidak umumnya terjadi?

Perihal gempa di Kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, yang terjadi, Jumat (28/9) sore, kiranya publik perlu melihat kembali apa yang terjadi enam hari sebelumnya.

Menurut siaran pers BMKG, Sabtu, 22 September 2018, pukul 19.08.20 WIB, telah terjadi gempa bumi tektonik dengan kekuatan M 4,7 dan kedalaman 10 km yang berpusat di 4 km arah barat daya Palu. “Karena gempa bumi ini relatif kecil dan tergolong gempa bumi dangkal sehingga tidak cukup kuat untuk membangkitkan perubahan di dasar laut yang dapat memicu terjadinya tsunami’, demikian bunyi siaran pers BMKG. Disebutkan pula, guncangan gempa bumi ini dirasakan di Palu, Parigi, dan Donggala.

Pandangan naif ialah apakah gempa dan tsunami yang dahsyat yang terjadi pada 28 September 2018 itu bukan gempa susulan yang kecil dan dangkal yang terjadi sebelumnya pada 22 September 2018?

Ada pepatah latin yang berbunyi post hoc ergo propter hoc. Terjemahan bebas: Sekali ada kesimpulan yang salah, maka akibat berikutnya juga salah. Sebaliknya, sekali ada kesimpulan benar, maka akibat berikutnya juga benar.

Ada juga yang membahasakan pepatah itu sebagai pertimbangan kita yang paling lumrah bersifat intuitif. Apa itu? Pandangan naif bahwa yang terjadi sebelum suatu petistiwa pastilah menjadi penyebabnya.

BMKG sebagai lembaga yang otoritatif tentu tidak boleh intuitif atau berpandangan naif. Akan tetapi, saya yang awam ini mau nekat intuitif dan naif dengan pertanyaan, tidakkah gempa yang kecil dan dangkal pada Sabtu, 22 September 2018, berhubungan erat dengan gempa dan tsunami yang dahsyat pada Jumat, 28 September 2018? Tidakkah kita naif dengan imbauan masyarakat agar tetap tenang sampai kemudian terjadi malapetaka yang dahsyat?

Gempa bumi bukan hanya punya ‘hari-hari ini’, atau ‘hari-hari yang lalu’, melainkan juga punya ‘hari-hari yang akan datang’. Kita tidak mengharapkan terjadi bencana. Akan tetapi, bukankah pandangan yang saintifik, bahwa kita sudah tahu di mana bakal terjadi gempa, tetapi kita tidak tahu kapan itu terjadi? Kita sudah tahu, karena kecuali Kalimantan, inilah negeri yang berkalung patahan gempa, yang dengan puitis dibahasakan sebagai negeri dilingkari cincin api.

Pandangan naif bilang betapa kita tidak berdaya perihal dimensi waktu di ‘hari-hari yang akan datang’ setelah Palu dan Donggala. Persis seperti setelah gempa beruntun di Lombok, kita tidak berdaya bahwa akan terjadi di Kota Palu dan Donggala. Pandangan naif bilang, bukankah lebih bijak kita bersama-sama secara bertahap mengajak warga bermigrasi lokal dan menjadikannya program nasional?

Terus terang, dengan penuh hormat kepada nenek moyang penemu pepatah, saya tidak bisa menerima ‘Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak’.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.