Keselarasan dalam Kejanggalan

258

MENGHADAPI kenyataan pahit, orang mungkin memilih mengingkarinya. Ah, tidak benar seperti itu. Lalu, terjadi penghakiman.

Tentu ada yang memilih lari dari kenyataan. Ekspresinya bermacam-macam. Salah satunya terbang dengan narkoba.

Pilihan yang sehat ialah berdamai dengan kenyataan, betapa pun pahitnya kenyataan itu. ‘Berdamai’ kiranya lebih sublimatif jika dibandingkan dengan sikap ‘pasrah’ atau ‘berkompromi’.

Pilihan sikap terhadap kenyataan pahit berpengaruh jauh bila orang itu bukan orang biasa, melainkan seorang pemimpin, yang keputusan politiknya berdampak di ranah kepublikan. Maaf, pemimpin yang sekarang sedang menghadapi kenyataan pahit ialah SBY, Ketua Umum Partai Demokrat.

Partai Demokrat akhirnya mengambil keputusan politik berbasiskan kenyataan di lapangan. Keputusan itu ialah sekalipun secara legal-formal mengusung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, demi menyelamatkan partai dalam pemilu legislatif, Partai Demokrat memberi dispensasi berupa kelonggaran kepada beberapa daerah untuk mendukung pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin.

Mereka yang menggerakkan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf itu tokoh-tokoh yang berpengaruh di daerah masing-masing. Mereka ialah Gubernur Papua Lukas Enembe, Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang, Gubernur Banten Wahidin Halim, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, serta mantan Gubernur Jawa Timur Soekarwo.

Ada yang membahasakan sikap Partai Demokrat itu sebagai politik dua kaki, satu kaki mendukung capres-cawapres Prabowo-Sandiaga Uno, satu lagi mendukung capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf. Sebuah penilaian yang mengandung ketidaktegasan. Saya tidak sependapat. Hemat saya, itulah keputusan yang paling bijaksana, yaitu berdamai dengan kenyataan pahit.

Partai Demokrat dari semula berjuang untuk menjadikan AHY sebagai cawapres. Ketika hal itu tidak terwujud, sebetulnya Partai Demokrat telah kehilangan selera untuk turut serta dalam pilpres.

Akan tetapi, UU Pemilu tidak memberi opsi itu. Bila tidak mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden, Partai Demokrat dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya. Itu sikap bodoh dengan ongkos politik yang terlalu mahal.

Terlepas dari curhat SBY terhadap Megawati Soekarnoputri, faktanya ialah Partai Demokrat telah ketinggalan kereta untuk turut mengusung pasangan Jokowi-Ma’ruf. Sampai pada saat pasangan Jokowi-Ma’ruf didaftarkan ke KPU, Partai Demokrat belum tegas bersikap. Padahal sendirian Partai Demokrat tidak bisa mengusung capres-cawapres. Maka, yang tersedia tinggal pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandiaga Uno yang belum didaftarkan ke KPU.

Demikianlah Partai Demokrat tidak bisa lagi bermain sebagai partai penyeimbang, yaitu tidak di sini, tetapi juga tidak di sana. Dalam pilpres harus bersikap. Akan tetapi, dalam pilpres dan pileg serentak, apa maslahat elektoral yang diperoleh Partai Demokrat bila memaksakan kadernya di sejumlah daerah memilih Prabowo-Sandiaga Uno yang keduanya berasal dari partai yang sama, Partai Gerindra? Tidakkah itu berarti turut membesarkan Partai Gerindra?

Sesungguhnya ada kejanggalan bahwa partai tidak menjatuhkan sanksi terhadap kadernya yang tidak patuh terhadap garis partai. Namun, menghakimi kesetiaan para gubernur, mantan gubernur/wakil gubernur, lebih besar mudarat ketimbang maslahat. Sikap hitam putih harus ditinggalkan. Terimalah kejanggalan itu dalam keserasian, dalam harmoni besar.

Tidak ada untungnya berpura-pura menegakkan disiplin partai. Dinamika politik di lapangan memberikan pilihan terbaik untuk berdamai dengan kenyataan pahit. Posisi-posisi politik yang bertentangan perlu diselaraskan dengan cara menghormatinya. Maka, rajutlah keselarasan dalam kejanggalan.

Kiranya sedikitnya ada dua pelajaran yang perlu dipetik. Pertama, kejanggalan tidak untuk dihabisi. Kedua, gaya kepemimpinan ketua umum partai politik penting dan menentukan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.