Negara Harus Realistis

264

ADA dua serangan utama teroris, yaitu menyerang warga sipil dan menyerang Polri. Tujuannya ialah merusak kepercayaan rakyat kepada pemerintah, kemudian merobohkan negara. Bila sasaran utama itu tidak tercapai, setidaknya membuat negara kacau.

Karena itu, buanglah jauh-jauh pandangan oposisi yang bilang terorisme muncul karena pemimpin negara lemah. Itu pandangan sesat, jangan dipercaya. Terorisme tidak muncul karena pemimpin negara lemah. Teror 9/11 terjadi pada saat Presiden AS George W Bush sedang kuat-kuatnya.

Sejarah kemudian menunjukkan Bush menjadi Presiden AS untuk dua masa jabatan. Publik dunia menyaksikan bagaimana Bush melakukan pembalasan. Dia menyatakan perang terhadap terorisme.

Katanya, “Perang kita terhadap teror dimulai dengan Al-Qaeda, tetapi tidak berakhir di situ. Itu tidak akan berakhir sampai setiap kelompok teroris secara global ditemukan, dihentikan, dan dikalahkan.”

Jokowi pun sekarang sedang kuat-kuatnya. Pernyataan itu bukan isapan jempol para pendukung, pecinta Jokowi, melainkan hasil survei yang menunjukkan elektabilitas Jokowi selalu tertinggi.

Tertinggi di atas 50%, bahkan mencapai 58,5%, kiranya petunjuk betapa kuatnya posisi Presiden Jokowi sehingga bila pilpres diselenggarakan pada saat survei dilakukan, Jokowi terpilih kembali menjadi presiden untuk masa jabatan kedua.

Presiden Jokowi jelas dan tegas menunjukkan kepemimpinannya ketika mengatakan akan memberlakukan perppu jika revisi Undang-Undang Antiterorisme tidak kunjung disahkan DPR. Itu cambuk keras untuk wakil rakyat.

Lambannya pengesahan revisi Undang-Undang Antiterorisme itu jelas menunjukkan betapa buruk prioritas legislatif dalam melihat persoalan bangsa dan negara. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa layak ditengarai ada yang berkeinginan memetieskan revisi undang-undang itu.

Dalam revisi itu ada perkara besar, yaitu pelibatan TNI, yang memerlukan percaturan pemikiran yang mendalam di ruang publik, yang sayangnya tidak dilakukan DPR. Parlemen memang senang merumuskan, membuat, dan mengesahkan undang-undang dengan diam-diam. Dengan diam-diam pula menghentikan pembahasan sebuah RUU.

Revisi Undang-Undang Antiterorisme tentu tidak mudah karena perubahan kedua UUD 1945 membuat garis pemisah antara kekuatan pertahanan negara yang diemban TNI dan kekuatan penjaga keamanan serta ketertiban masyarakat yang diemban Polri. MPR melakukan perubahan konstitusi itu dalam gegap gempita demokrasi serta gairah mengoreksi terlalu besarnya kekuasaan ABRI di seluruh cabang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa Pak Harto.

Tidak terpikirkan MPR hasil reformasi kala itu, betapa dahsyatnya terorisme, yang marak terjadi justru di alam demokrasi. Yang terpikirkan ialah merumuskan hak asasi manusia, bahkan sampai 10 pasal.

Kini, terorisme musuh besar bangsa dan negara, yang dapat melenyapkan NKRI dan ideologi Pancasila. Karena itu, tidak bisa lain, negara harus realistis. Negara harus mengizinkan secara legal digunakannya secara terbatas kekuatan TNI pada level yang dapat ditoleransikan untuk menghabisi kelompok-kelompok teroris yang berkemampuan besar menyerang rakyat, bahkan merobohkan negara. Untuk itulah diperlukan revisi Undang-Undang Antiterorisme.

Tentu saja penggunaan secara terbatas kekuatan TNI itu bukan pintu untuk kembalinya TNI ke panggung kekuasaan. Supremasi sipil tetap yang tertinggi, yang tampuknya berada di pundak presiden hasil pilihan rakyat. Karena itu, sudah benar mekanisme pelibatan TNI itu diserahkan kepada presiden melalui perpres.

Publik percaya, operasi Polri dan TNI dapat menghabisi organisasi teroris dan pemimpinnya, tetapi akar penyebab tidak terobati. Karena itu, selain operasi bersenjata, intelijen yang canggih, awas, dan waspada, pendekatan lunak secara sosioideologi pun harus dilakukan.

Penting pula diingatkan untuk tidak mengulang Rumah Tahanan Cabang Salemba di Mako Brimob. Revisi Undang-Undang Antiterorisme sangat urgen segera disahkan, tapi juga pembenahan penjara untuk teroris pun perlu diproritaskan.

Tidak usah membangun penjara baru.

Negara harus realistis dengan anggaran negara. Hemat saya, penjara untuk pemakai narkoba dijadikan saja penjara untuk teroris. Negara pun perlu realistis bahwa pemakai narkoba bukan penjahat, melainkan pasien. Tempatnya bukan di penjara, melainkan di rumah sakit, di tempat rehabilitasi.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.