Selfish dan Mentang-Mentang

258

DPR tergolong lembaga negara yang gemar mengubah undang-undang tentang dirinya sendiri. Sekurang-kurangnya ada dua hal yang menonjol. Pertama, hal itu mengekspresikan dirinya yang selfish. Kedua, menunjukkan dirinya yang mentang-mentang.

Diri yang selfish itu sudah tentu mengenai bagi-bagi jabatan pemimpin DPR. Dalam perkara ini, yang sekarang berlaku dalam UU MD3 ialah produk impuls pemaksimuman dan pemuasan yang dikemas dalam bahasa yang mengaburkan hasil kompetisi dalam pemilu. Bahwa pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.

Ketentuan ‘Dalam satu paket yang bersifat tetap’ itu mengakibatkan tidak penting dan tidak dihargai partai yang meraih suara terbanyak dalam pemilu. Di restoran junk food ada pahe (paket hemat), di jajaran pemimpin DPR ada patet (paket tetap), hasil persekongkolan menyantet partai pemenang pemilu.

Dalam satu paket terjadilah penjumlahan perolehan kursi partai-partai yang bersekongkol sedemikian rupa sehingga hasilnya lebih besar daripada perolehan kursi partai pemenang pemilu.
Sesungguhnya itu pengeroyokan menggunakan aritmetika dan celakanya Mahkamah Konstitusi merestuinya.

Pemaksimuman dan pemuasaan untuk menguasai kursi pemimpin DPR itu terus menjadi pertarungan yang tiada henti, tapi sejauh ini tetap pengeroyok dan penyantet yang menang. Kini DPR kembali membicarakan perubahan susunan pemimpin DPR itu dengan cara mengendurkan penyantetan, yaitu menambah jumlah pemimpin DPR.

Pimpinan DPR terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua. Jumlah itu ingin dibengkakkan, berupa penambahan Wakil Ketua DPR. Berapa? Tidak cukup satu, tetapi dua Wakil Ketua DPR. Yang terjadi bagi-bagi jabatan pemimpin DPR, pertanda selfish banget. Bahkan juga terbit air liur mereka untuk menambah dua Wakil Ketua MPR.

Padahal, apa kerja mereka? Yang pasti cuma lima tahun sekali MPR melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilihan umum. Perubahan UU MD3 juga mengandung pikiran menjadikan DPR sebagai lembaga negara yang mentang-mentang berkuasa. Hal itu ditunjukkan terhadap orang yang menolak hadir atas panggilan DPR dan terhadap orang yang mengkritik DPR.

DPR akan membuat Polri wajib memanggil paksa orang yang tidak mengindahkan panggilan DPR tanpa alasan. Kata ‘wajib’ itu membuat Polri terpaksa untuk memanggil paksa. Terpaksa, kalau tidak dilaksanakan, Polri melanggar UU MD3. Terpikir pula DPR melalui Mahkamah Kehormatan Dewan untuk menyeret secara pidana orang yang dinilai merendahkan kehormatan DPR atau anggota DPR.

Sebuah pikiran mentang-mentang berkuasa, yang dapat seenaknya menafsirkan sebuah kritik sebagai merendahkan kehormatan DPR atau anggota DPR. Demikianlah DPR hendak menjaga wibawa dan kehormatan mereka dengan bantuan Polri dan pemidanaan. Betul-betul perbuatan kerdil dengan cara menakut-nakuti.

Terus terang saya tidak paham bagaimana kekerdilan itu dapat menjaga kehormatan (Pernyataan ini berisi kritik yang bisa membuat Mahkamah Kehormatan DPR melaporkan penulis ke Bareskrim karena dinilai merendahkan kehormatan DPR). Revisi UU MD3 dengan konten selfish dan mentang-mentang berkuasa justru dapat berakibat pemaksimuman ketidakpuasan publik kepada DPR.

Mengherankan bahwa DPR hasil Pemilu 2009 (yang melahirkan UU MD3) dan DPR hasil Pemilu 2014 (yang sedang merevisi UU MD3) tiada berbeda dalam melihat diri sendiri sebagai produk demokrasi. Tidak lahir pemahaman yang jujur kenapa kehormatan dan wibawa DPR merosot.

Apakah Pemilu 2019 bisa berbeda? Bisakah pemilu serentak itu menghasilkan lebih banyak politikus yang berkemampuan memulihkan kehormatan dan wibawa DPR? Itu tantangan yang bikin pemilu mendatang kian seksi.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.