Status Darurat

302

SEPERTINYA terdengar ganjil bahwa status darurat dinyatakan dalam keadaan normal, bukan dalam keadaan negara sungguh-sungguh menghadapi krisis keamanan.

Faktanya yang ganjil itu merupakan kecenderungan cukup dominan di negeri ini.

Contohnya penetapan status darurat narkotika, darurat terorisme, darurat radikalisme, dan darurat bencana alam.

Semua keadaan darurat itu dinyatakan penyelenggara negara dalam keadaan normal.

Perihal status darurat dan relevansinya dengan keadaan Indonesia itu merupakan cuplikan kecil dari ringkasan disertasi Agus Sudibyo, pemerhati media, yang diuji secara terbuka di Gedung Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Sabtu (9/12).

Judul disertasinya Normalisasi Status-Darurat sebagai Potensialitas dalam Negara Demokrasi: Telaah Kritis atas Pemikiran Politik Giorgio Agamben.

Giorgio Agamben ialah filosof Italia yang lahir di Roma, 22 April 1942, dengan pikiran besar mengenai status darurat dalam negara demokrasi.

Dalam pandangannya, demokrasi sejak awal mula merupakan kekaburan antara kekuatan pembentuk konstitusi dan kekuatan pelaksana konstitusi.

Apa yang disebut sebagai kekuasaan-berdaulat, yaitu sosok yang tidak tertandingi dengan kekuasaan apa pun dan tidak terikat oleh mekanisme apa pun, menyusup dalam tatanan demokrasi melalui normalisasi penyelenggaraan status darurat.

Demikianlah penyelenggaraan status darurat yang bukan hanya fenomena dalam keadaan perang atau krisis keamanan, melainkan juga fenomena dalam situasi normal tatanan kenegaraan.

Tidak ada lagi perbedaan antara keadaan krisis dan keadaan normal, antara keberadaan hukum dan kekosongan hukum, antara tatanan dan ketiadaan tatanan.

Dalam bagian tesis, Agus Sudibyo menyatakan Giorgio Agamben terlalu menekankan kendali negara atas masyarakat, kurang memperhatikan dialektika antara struktur dan agen serta agen-agen yang majemuk dalam penyelenggaraan hukum di negara demokrasi.

Kata Agus, “Tatanan demokrasi memang tidak selalu berhasil mengatasi masalah kekerasan, tetapi juga menciptakan distribusi kekuasaan ke berbagai pihak sehingga terwujud proses check and balances.”

Dalam pandangan jurnalistik, tentu saja bukan pikiran besar Giorgio Agamben yang sangat menggoda rasa ingin tahu saya, melainkan relevansinya terhadap berbagai pernyataan status darurat yang dinyatakan penyelenggara negara di Republik ini.

Menurut Agus Sudibyo, deklarasi status darurat merupakan pengakuan bahwa negara tidak berhasil menjalankan prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana mestinya sehingga prinsip tersebut dianulir untuk sementara waktu.

Relevansi lain pandangan Giorgio Agamben berkaitan dengan paradoks pelembagaan HAM di Indonesia.

Di satu sisi diasumsikan manusia dengan keadaan alamiahnya ialah sumber sekaligus batasan dari hak.

Namun, di sisi lain, keadaan alamiah yang sama selalu terinklusi dalam tatanan sekaligus tereksklusi, menjadi sasaran penyelenggaraan kekuasaan yang berjalan berdasarkan logika status darurat.

Paradoks terinklusi dan tereksklusi itulah yang menjelaskan realitas diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia seperti Jemaah Ahmadiyah, Penganut Syiah, Keturunan Tionghoa, dan Penghayat Kepercayaan.

Jemaah Ahmadiyah berstatus resmi warga negara.

Sebagai warga negara, mereka membayar pajak dan mematuhi hukum.

Namun, kepatuhan dan ketaatan itu tidak diganjar dengan tindakan nyata pemerintah untuk melindungi mereka.

Kata Agus, “Hukum di sini menangguhkan diri dalam status nonoperasional justru ketika dibutuhkan operasionalitasnya, yakni pada saat terjadi kekerasan dan kejahatan.”

Agus Sudibyo menyimpulkan, dalam menghadapi fakta perbedaan dan konflik dalam masyarakat yang majemuk, pemerintah Indonesia sering menerapkan kebijakan yang utilitaristis.

Jika dihadapkan pada desakan kelompok mayoritas, hukum cenderung menangguhkan diri sebagai penjaga kesetaraan dan keadilan, sebagai penjamin absennya kekerasan kepada siapa saja tanpa pandang bulu.

Ujian doktor itu mengingatkan pertemuan saya dengan Agus, beberapa tahun lalu.

Sebagai sesama lulusan studi ilmu komunikasi Fisipol UGM, saya bertanya kepada sang junior kenapa mengambil doktor di bidang filsafat, bukan di bidang media.

Pertanyaan itu teringat kembali, ketika pekan lalu Agus mengonfirmasi apakah saya bakal hadir dalam promosi doktor.

Saya hadir dan menyaksikan sendiri bahwa jawabannya atas pertanyaan saya ‘dulu’ tidak penting lagi.

Agus Sudibyo, 43, dengan promotor Prof Dr M Sastrapratedja, kopromotor Prof Dr A Sudiarja dan Dr Robertus Robert, dengan penguji Dr Karlina Supelli, Prof Dr Alois Agus Nugroho, Prof Dr J Sudarminta, dinyatakan lulus dengan pujian, cum laude.

Dengan senang hati, saya membaginya ke ruang publik melalui Podium ini.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.