Lenyap Sedikit demi Sedikit

247

MAHKAMAH Konstitusi nyaris menghasilkan magnum opus, karya besar di dalam mengawal konstitusi.

Karya itu ialah diakuinya kepercayaan untuk diisi di dalam kolom agama di kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik.

Nyaris menjadi magnum opus, putusan MK itu layak menjadi salah satu catatan utama dalam sejarah hak konstitusional warga berkaitan dengan kebebasan beragama.

Putusan itu terlalu besar untuk hanya menjadi catatan kaki di dalam sejarah amendemen UU yang bertentangan dengan UUD.

Alkisah, pada 28 September 2016, ada empat warga negara yang mengajukan review terhadap Undang-undang tentang Administrasi Kependudukan ke MK.

Isi pasal yang dimohonkan ditinjau kembali ialah bahwa penganut kepercayaan belum diakui agamanya dan kolom agama di dalam KK dan KTP-E mereka tidak diisi.
Alias kosong.

Keempat orang itu penganut kepercayaan yang berbeda.

Pertama, Nggay Mehang Tana, penganut kepercayaan dari Komunitas Marapu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Perkawinan antarpemeluk Marapu secara adat tidak diakui negara.

Akibatnya, anak-anak mereka sulit mendapatkan akta kelahiran.

Kedua, Pagar Demanra Sirait, penganut kepercayaan Parmalim yang berpusat di Kabupaten Toba Samosir, Sumatra Utara.

Penganutnya menyebar ke berbagai wilayah.

Ketika mengurus kartu keluarga dan KTP-E, penganut Parmalim sering dipaksa untuk memilih agama yang ‘diakui’ agar lebih mudah.

Ketiga, Arnol Purba, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak, yang penganutnya tersebar di Medan Helvetia, Medan Denai, Medan Belawan, di Sumatra Utara.

Sebagai penganut Ugamo Bangsa Batak yang kolom agama di KK dan KTP-E dikosongkan, anaknya ditolak melamar pekerjaan.

Keempat, Carlim penganut kepercayaan Sapto Darmo dari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Sebagai penghayat kepercayaan, karena di kolom agama kosong, pemakaman keluarganya ditolak di permakaman umum.

Demikianlah sekadar contoh kerugian konstitusional yang dialami mereka.

Menurut UU Administrasi Kependudukan, mereka merupakan penduduk yang belum diakui agamanya sehingga elemen data tentang agama tidak diisi.

Ketentuan itu bertentangan dengan konstitusi.

Pada 7 November 2017, MK mengabulkan permohonan keempat orang itu untuk seluruhnya.

MK menyatakan kata ‘agama’ dalam UU Administrasi Kependudukan termasuk ‘kepercayaan’.

Memakai sebutan dalam konstitusi, mereka itu ‘orang-orang bangsa Indonesia asli’.

Asli tapi disingkirkan negara. Kolom agama yang tidak diisi itu mengakibatkan mereka mengalami tekanan sosial yang berstruktur secara mendalam.

Jumlah mereka kian merosot.

Sebagai gambaran, dalam 5 tahun (2007-2012), jumlah pemeluk kepercayaan Marapu di Pulau Sumba, NTT, menurun lebih tiga kali lipat.

Penganut Sapto Darmo hanya bertahan pada jaringan keluarga yang juga kian melemah akibat berbagai tekanan politik dan sosial.

Kiranya perih membayangkan mereka lenyap sedikit demi sedikit.

Yang terjadi bukan saja pelanggaran konstitusi bahwa setiap orang bebas memeluk agama, melainkan juga setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupan mereka.

Orang-orang bangsa Indonesia asli itu mestinya dapat hidup sedikit demi sedikit.
Bukan lenyap sedikit demi sedikit.

Kini keperihan orang-orang bangsa Indonesia asli itu terobati dengan putusan MK.

Sayangnya putusan itu belum bisa menjadi magnum opus, karya besar, karena bersifat generik.

MK tidak tuntas mengakui mereka secara spesifik.

Beralasan bakal merepotkan secara administrasi, MK membahasakannya sebagai ‘kepercayaan’.

Mereka tidak bisa mencantumkan eksplisit berkepercayaan Marapu, Parmalim, Ugamo Bangsa Batak, atau Sapto Darmo, dan lain-lain.

Kesetaraan yang mutlak kiranya terjadi jika kolom agama ditiadakan di dalam KTP-E. Cukuplah tercantum dalam kartu keluarga.

Sebuah isu yang sangat kontroversial yang masih sensitif diperbincangkan di ruang publik.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.