Persediaan Kejujuran

283

APAKAH korupsi dianggap ‘buruk’ dalam kehidupan sosial? Berbasiskan norma jawabnya ‘ya’, berbasiskan empirik jawabnya ‘tidak’. Sesungguhnya, norma tinggal norma. Senyatanya realitas sosial telah berjalan jauh meninggalkan norma. Korupsi hina dari sisi moral, tapi perkara ‘biasa’ dari sisi kelakuan.

Kiranya yang sedang terjadi ialah pemangku jabatan kepublikan kian cekatan korupsi, sebaliknya KPK kian tangkas menangkap mereka. Sebuah pertandingan yang mengherankan hati kecil, apakah masih ada persediaan kejujuran? Rupanya persediaan kejujuran tersisa dalam bentuk perlawanan ‘diam-diam’.

Tidak diekspresikan ke ruang publik, sekalipun menyangkut pemangku jabatan publik, mengenai uang rakyat. Hemat saya, dalam perspektif itulah laporan masyarakat kepada KPK perlu ditempatkan. Korupsi boleh diandaikan seperti berlangsung di depan mata. Dibiarkan terjadi. Bukti-bukti dikumpulkan.

Lalu diam-diam, dengan satu dan lain cara, semuanya disampaikan kepada KPK. Korupsi di depan mata itu tidak dapat dicegah, bahkan berdampak buruk bagi orang yang mencegahnya. Orang jujur tersingkir, ‘terbuang dari kumpulannya’. Inspektorat bukan pula unit pengawasan yang dapat dipercaya. Faktanya, KPK menjadi tumpuan.

Selama Januari-Juli 2017, KPK menerima laporan pengaduan masyarakat sebanyak 3.397 laporan. Dari jumlah itu sebanyak 2.069 laporan atau 60% ada indikasi tindak pidana korupsi. Data itu menunjukkan kebanyakan laporan masyarakat valid, bukan sampah, sekalipun tidak semuanya cukup bukti untuk dilanjutkan ke tahapan penindakan.
Yang jelas KPK tidak mendiamkan, tidak memetieskan laporan masyarakat.

Terlepas dari fakta bahwa tidak semua penangkapan yang disebut OTT benar-benar dapat disebut OTT, laporan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan OTT itu menambah kepercayaan masyarakat kepada KPK. DPR dan pemerintah pun menerima laporan masyarakat.

Namun, tindak lanjut atas laporan masyarakat itu tidak ‘terdengar’ sekuat terdengarnya tindak lanjut yang dilakukan KPK. Laporan masyarakat kepada KPK itu sedikit banyak menunjukkan masih hidup harapan masyarakat bahwa koruptor bisa dipenjarakan. Akan tetapi, hal itu tidak dengan sendirinya meniupkan harapan bahwa korupsi kian menyusut.

Produktivitas menangkap koruptor kiranya seperti deret hitung, sedangkan korupsi berbiak seperti deret ukur. Patutlah timbul pertanyaan besar, apakah masih hidup harapan masyarakat bahwa dengan semua kinerja KPK dan kepercayaan kepada KPK itu, suatu hari penyelenggara negara kian jera dan takut korupsi?

Pesimisme tidak sepenuhnya dapat dihindarkan. Persediaan kejujuran terus merosot. Dari dalam diri, faktanya tidak ada tanda-tanda menguatnya kendali diri pemangku jabatan kepublikan untuk menegakkan integritas.

Padahal, di luar diri mereka, memudar tanda-tanda bahwa korupsi secara empirik dianggap ‘buruk’ dalam kehidupan sosial. Dalam bahasa yang halus relativisme moral terhadap korupsi sedang berlangsung di negeri ini dengan kecepatan yang sulit terperikan.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.