Walk Out

255

SETELAH makan waktu sembilan bulan, pembahasan Undang-Undang Pemilu akhirnya disetujui dengan cara voting, bukan dengan musyawarah untuk mufakat. Tak ada yang aneh, karena bukan perkara baru pertarungan kepentingan tidak dapat diselesaikan dengan konsensus, melainkan dengan adu banyak suara. Empat fraksi (Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN) meninggalkan ruang sidang karena tidak setuju dengan ambang batas pencalonan presiden yang besarnya 20% perolehan kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional.

Mereka kukuh mengusung dan membela ambang batas 0%, antara lain dengan alasan akibat pileg dan pilpres serentak tidak ada perolehan kursi/suara DPR yang dapat dijadikan ambang batas presiden. Ambang batas 20% itu, yang berlaku selama ini, diusulkan pemerintah, serta didukung dan dibela enam fraksi (PDIP, Golkar, NasDem, PKB, PPP, dan Hanura) yang kiranya bakal mencalonkan Jokowi dalam Pilpres 2019.

Tidak berarti persoalan selesai karena dapat dipastikan ambang batas itu bakal ada yang mengujinya di Mahkamah Konstitusi yang putusannya final dan mengikat. Apakah MK sependapat dengan ambang batas 20% itu? Jika ya, apa alasannya? Apa argumentasinya? Apa ‘cantolan’ konstitusinya? Kiranya sangat menarik untuk mengetahuinya. Sebaliknya, tidak ada kejutan bila MK membatalkan ambang batas 20% itu karena tidak diperlukan kecanggihan alasan dan kedalaman argumentasi untuk memberlakukan ambang batas 0%.

Cukup pikiran seorang awam seperti pernah penulis ajukan di forum ini. Yang tidak lucu ialah pemerintah dan DPR kembali menyetujui ketentuan bahwa partai politik yang telah lulus verifikasi tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai peserta pemilu. Ketentuan itu pernah dibatalkan MK. Apakah pemerintah dan DPR berpandangan MK dapat mencabut putusannya sendiri sehingga yang final dan mengikat rontok?

Kayak main sepak bola saja, yang masuk final musim lalu belum tentu lolos musim ini. Yang lebih tidak lucu, pandangan yang menyatakan fraksi yang meninggalkan ruang sidang (walk out) tidak bertanggung jawab terhadap putusan yang diambil di sidang pleno. Seakan sidang itu liar.
Padahal sidang itu resmi. Voting cara pengambilan keputusan yang sah. Bukan ilegal. Kalah dalam jumlah suara kiranya bukan alasan untuk tidak bertanggung jawab atas putusan yamg diambil DPR sebagai institusi.

Kenapa fraksi yang bakal kalah dalam voting memilih walk out? Kenapa tidak memilih tetap tinggal dalam ruang sidang? Kenapa fraksi tidak menghormati sidang pleno, ‘institusi’ terhormat dan tertinggi di DPR? Dipikir-pikir, meninggalkan sidang bukanlah sikap terhormat. Bahkan bukan sikap bertanggung jawab. Wakil rakyat yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengambil keputusan tidak melaksanakan mandat itu dengan cara meninggalkan ruang sidang semata karena tahu pasti kalah jumlah suara dalam pengambilan keputusan.

Walk out menjadi kebiasaan di DPR, tanpa pandang bulu apa pun ideologi partai. Minggu (21/7/2017) lalu, Gerindra, Demokrat, PKS, PAN walk out tidak mau ikut mengesahkan RUU Pemilu, tahun lalu (8/7/2014) PDIP, PKB, dan Hanura yang walk out tidak mau ikut mengesahkan RUU MD3. Akan tetapi, partai mana pun harus mematuhi putusan yang telah diambil DPR sekalipun walk out.

PDIP meraih suara terbanyak dalam Pemilu 2014, tetapi berdasarkan UU MD3 partai itu tidak duduk dalam jajaran pimpinan DPR, apalagi menjadi ketuanya seperti UU sebelumnya. Fakta politik tidak enak itu harus dilakoni juga dengan turut bertanggung jawab atas putusan-putusan DPR yang diambil para pemimpin sidang yang duduk dalam jabatannya itu sebagai produk UU MD3.

Meninggalkan ruang sidang (walk out) senyatanya tidak memengaruhi putusan politik yang diambil dalam sidang pleno. Bertahan di dalam ruang sidang kiranya lebih gagah ketimbang meninggalkan ruang sidang. Akan tetapi, kenapa walk out dilakukan? Jawabnya, para politikus itu mau menunjukkan efek dramatik kepada publik dan mengira di situ ada heroisme kepublikan. Padahal tidak ada bukti banyaknya meninggalkan sidang berdampak positif elektoral.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.