Setya Novanto dan Akbar Tandjung

325

SETYA Novanto dipastikan menikmati sebagian jalan yang diciptakan Akbar Tandjung dalam kedudukan yang sama (Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR) dan dalam perkara hukum yang sama (korupsi) sekalipun jarak waktu keduanya cukup panjang, 15 tahun lebih, dan sekalipun iklim politik telah berubah. Akbar Tandjung tetap dalam dua kedudukannya itu, bahkan sampai masa jabatannya berakhir, berdasarkan sebuah postulat, yaitu sampai hukumannya berkekuatan hukum tetap.

Untuk sampai berkekuatan hukum tetap itu diperlukan 2 tahun 1 bulan, sejak Akbar ditetapkan sebagai tersangka (7/1/2002) hingga putusan MA bebas (12/2/2004). Sekadar mengingatkan, Akbar ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan korupsi dana nonbujeter Bulog Rp40 miliar. Pada 7 Maret 2002, ia ditahan. Pada 25 Maret 2002 sidang perdana. Pada 5 April 2002, pengadilan menangguhkan penahanannya. Pada 24 Juli 2002, ia dituntut 4 tahun penjara. Pada 4 November 2002, ia divonis 3 tahun penjara.

Pada 17 Januari 2003, permohonan bandingnya ditolak. Ia lanjut kasasi. Dua kali MA bersidang tanpa putusan. Pada 12 Februari 2004, setelah sidang 9 jam, Mahkamah Agung menyatakan Akbar Tandjung bebas. Selain postulat berkekuatan hukum tetap, yang perlu ditekankan ialah tuntutan di bawah 5 tahun penjara. Kedua hal itu menjadikan perkara Akbar Tandjung sebagai preseden legalitas berkaitan dengan pemberhentian pimpinan DPR, yang dipakai sampai saat ini dalam Undang-Undang MD3.

Pasal 87 ayat c berbunyi ‘Pimpinan DPR diberhentikan apabila dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih’.
Pasal itulah yang kini dipakai DPR. Sekalipun berstatus tersangka kasus korupsi KTP-E, Setya Novanto akan tetap menjadi Ketua DPR. Sekaligus ia pun tetap menjadi Ketua Umum Partai Golkar.

Tentu kecuali terjadi ‘gempa dahsyat’ di tubuh partai, sampai-sampai partai itu hilang ingatan pada sejarahnya sendiri dan Akbar Tandjung juga lupa pada riwayat hidupnya. Demikianlah landasan-landasan legal (DPR pembuat undang-undang) dan landasan-landasan yuridis (tuntutan tidak lebih 5 tahun atau lebih dan berkekuatan hukum tetap) berkolusi di dalam tubuh DPR untuk melindungi kepentingan diri sendiri. Hasilnya DPR pernah dipimpin tersangka dan kini pun bakal dipimpin tersangka.

Apakah secara moral dapat dibenarkan? Apakah tidak malu? Setiap elite kayaknya punya pandangan moralnya sendiri, terutama untuk membela dan mempertahankan posisinya yang tinggi. Sejak reformasi, kelas penguasa di DPR mewariskan pandangan moral itu hingga ke generasi sekarang. Fungsi pemeliharaan moral gampangan itu berjalan mulus. Tidak ada anggota DPR yang malu dipimpin tersangka, terlebih tersangka di tangan KPK, di tengah semangat hak angket terhadap KPK.

Persoalan Setya Novanto sekarang setidaknya tinggal tiga hal yang berbeda dengan Akbar Tandjung. Pertama, Setya Novanto mengajukan praperadilan dan berharap terjadi pembatalan status tersangka seperti dialami Jenderal Budi Gunawan. Dalam hal ini ia harus lebih dulu adu cepat dengan KPK. Apabila KPK lebih dulu mengajukan perkaranya ke pengadilan, tertutuplah pintu praperadilan. Kedua, tentu saja bergantung pada tuntutan KPK kepada Setya Novanto, apakah ia diancam hukuman pidana 5 tahun atau lebih atau malah lebih ringan.

Dalam hal ini kiranya KPK berkemungkinan mengancam dengan hukuman lebih berat. Ketiga, Akbar Tandjung hanya ditahan 29 hari, selebihnya hampir 2 tahun ia manusia bebas memimpin DPR, sekalipun berstatus terdakwa di pengadilan sampai diputus bebas berkekuatan hukum tetap oleh MA.

Apakah Setya Novanto juga bakal menikmati kebebasan itu? Kiranya sebuah pengecualian hebat jika tersangka dalam tahanan KPK, yang sedang diadili, dapat ditangguhkan penahanannya oleh pengadilan.
Setya Novanto mungkin mengajukannya karena ada preseden Akbar Tandjung dalam kedudukan yang sama. Akan tetapi, bukan hanya preseden itu perlu dikedepankan. Bukankah Setya Novanto berhasil menggugurkan rekaman papa minta saham sebagai bukti?
Berdasarkan putusan MK itu nama baiknya dipulihkan dan ia kembali menjadi Ketua DPR setelah ‘sempat’ digantikan Ade Komarudin. Setya Novanto memang tangguh.

Perkara KTP-E memasuki tahap yang lebih dalam dengan menjadikan orang tangguh itu tersangka. KPK langsung menghajar puncak kekuasaan di DPR. KPK kian menunjukkan taringnya. Sebaliknya, pertanyaan apakah hal itu membuat panitia angket DPR ‘tahu diri’ atau malah kian tertantang membuktikan dirinya benar dan layak dipercaya. Sesungguhnya sedang terjadi adu kuat legitimasi dan adu trust kepublikan di atas retorika parlemen.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.